Pada suatu ketika, Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, di Savatthi. Di desa sekitar Vihara, ada seorang ibu rumah tangga yang menganggap seorang pertapa, bernama Pathika, sebagai guru tempatnya bertanya tentang segala macam hal. Ibu itu menyediakan segala macam kebutuhannya dan menganggap pertapa itu seperti anaknya sendiri.

Pada suatu hari, seorang tetangga di sebelah rumahnya dengan bersemangat bercerita bahwa ia baru saja mengunjungi dan mendengarkan Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Ia berkata :

“Oh ibu, Ajaran yang Sang Buddha katakan itu, luar biasa indahnya, saya amat bahagia mendengarkannya.”

Si ibu yang mendengar bahwa tetangganya begitu memuja dan mengagumi Sang Buddha, menyebabkan ia juga ingin pergi ke vihara, menemui dan mendengarkan sendiri Ajaran Sang Buddha.

Ia lalu bertanya kepada pertapa Pathika :

“Yang Mulia, saya ingin pergi mengunjungi dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha.”

Pertapa Pathika yang mendengar ibu itu ingin pergi ke vihara, segera melarangnya :

“Jangan pergi!”

Ibu itu lalu berpikir :

“Kalau pertapa guruku ini, melarang saya pergi ke vihara mendengarkan Ajaran Sang Buddha, alangkah baiknya kalau saya dapat mengundang Sang Buddha datang ke rumah dan saya mendengarkan AjaranNya di sini saja.”

Demikianlah, ketika malam hari tiba, ibu itu lalu memanggil anak laki-lakinya, ia berkata :

“Anakku, pergilah ke vihara Jetavana undanglah Sang Buddha untuk datang ke rumah kita dan menerima persembahan makanan, besok pagi.”

Anak itu segera pergi, tetapi sebelum ia pergi ke vihara, ia menemui pertapa Pathika terlebih dahulu. Pertapa itu bertanya :

“Kamu mau pergi kemana?”

“Ibu menyuruh saya mengundang Sang Buddha untuk datang ke rumah besok pagi.”

“Jangan pergi”

“Yang Mulia, kalau saya tidak pergi, ibu saya pasti marah.”

“Kamu biarkan makanan-makanan yang enak itu dipersembahkan kepada Sang Buddha?”

“Bagaimanapun saya harus pergi, kalau tidak ibu pasti menghukum saya, saya takut.”

“Baik, pergilah. Tetapi kalau kamu pergi dan mengundang Sang Buddha, jangan katakan ‘Rumah saya ada di sini, di jalan ini dan sebagainya’. Tetapi kamu harus katakan rumahmu di sana, di daerah sana dan sebagainya. Setelah selesai kamu pulang seolah-olah rumahmu di daerah sana, lalu lari ke jalan lain, dan segera datang ke sini.”

“Baiklah,” kata anak laki-laki itu.

Anak itu segera pergi setelah mendengar petunjuk dari pertapa itu. Ia pergi ke vihara menemui Sang Buddha dan menyampaikan undangan ibunya seperti yang diajarkan oleh pertapa itu kepadanya. Ia lalu cepat-cepat pulang dan menemui pertapa itu lagi.

Pertapa itu bertanya :

“Apa yang kamu katakan?”

“Seperti yang anda katakan, Yang Mulia”, jawab anak laki-laki itu.

“Bagus! ……… anak pintar! Kamu telah melaksanakan tugasmu dengan baik. Besok kita dapat makanan enak yang seharusnya diberikan kepada Sang Buddha.”

Keesokkan paginya, pertapa Pathika datang ke rumah ibu itu dan duduk di ruang belakang bersama si anak laki-laki.

Tetangga di sekitar rumah ibu itu, yang mengetahui kedatangan Sang Buddha menghias rumah mereka dengan bunga-bunga beraneka warna. Ibu itu lalu menyiapkan tempat duduk yang terbaik untuk Sang Buddha.

Sang Buddha yang menerima undangan ibu itu pada pagi harinya langsung datang ke rumah ibu yang baik hati tersebut, dengan membawa jubah dan mangkuknya. (Sang Buddha dapat mengetahui rumah ibu yang baik hati itu, meskipun anak laki-lakinya memberikan alamat yang salah)

Si ibu menyambut kedatangan Sang Guru Agung dengan amat gembira. Ia memberikan hormat, mempersilahkan Sang Buddha masuk ke rumahnya, dan mempersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakannya. Ia mempersembahkan minuman dan makanan yang enak.

Selesai makan, Sang Buddha mengucapkan anumodana (terima kasih) dengan memberikan khotbah melalui suaraNya yang amat lembut. Setelah mendengar Dhamma yang dikatakan oleh Sang Buddha sendiri, ibu itu amatlah gembira dan bahagia, ia bertepuk tangan dan berkata :

“Oh, Yang Mulia, amat indah, amat indah kata-kata Yang Mulia ucapkan.”

Pertapa Pathika ketika mendengar ibu itu bertepuk tangan dengan gembira dan memuji-muji Sang Buddha, amatlah marah dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, sambil berdiri, ia lalu berkata :

“Ibu itu bukan pengikutku lagi!”

Ia lalu berjalan ke ruang tengah, dan berkata :

“Hai ibu! Kamu rugi bertepuk tangan untuk dia!”

Ia lalu memaki-maki, mencerca dan pergi keluar rumah dengan amat marah. Ibu itu amat malu serta bingung mendengar kata-kata pertapa Pathika, sehingga ia tidak dapat memusatkan pikirannya lagi.

Sang Buddha yang mengetahui hal itu, lalu bertanya :

“Ibu, apakah kamu tidak dapat memusatkan pikiranmu lagi?”

“Ya, Yang Mulia, maafkan saya, saya amat malu dan bingung mendengar kata-kata pertapa tadi,” jawab ibu itu.

Sang Buddha lalu berkata :

“Ibu, kamu tidak perlu memperhatikan apa yang dikatakan oleh pertapa seperti itu, tetapi perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan belum dikerjakan oleh dirimu sendiri.”

Sang Buddha lalu mengucapkan syair :

“Jangan memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah dikerjakan atau belum

dikerjakan oleh orang lain.

Tetapi perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri

sendiri.”

(Dhammapada, Puppha Vagga no. 7)

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Leave a Reply