Archive for the “Cerita Bhuddis” Category

Terdapatlah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu yang tinggal bersama dengan seorang anak laki-lakinya. Ayahnya sudah meninggal, sehingga ia mengerjakan semua pekerjaan di lading dan pekerjaan di rumah seorang diri. Ia juga merawat ibunya dengan penuh kasih. Pada suatu hari ibunya berkata:

“Anakku, saya akan mencarikan seorang gadis untuk dijadikan isterimu”.

“Ibu, janganlah seperti itu, saya akan menjagamu sepanjang hidupmu”.

“Anakku, saya kasihan melihatmu bekerja keras seorang diri di rumah dan di ladang. Jadi biarkanlah saya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterimu, sehingga ia dapat mambantumu”.

Anak itu menolak terus permintaan ibunya, sampai akhirnya ia diam saja.

Ibunya bermaksud pergi ke satu keluarga di desa dan meminta anak gadis keluarga itu untuk dibawa pulang menjadi menantunya. Anaknya bertanya:

“Ibu hendak pergi ke keluarga mana?”.

Ibunya menjawab akan pergi ke keluarga yang mana saja. Si anak menganjurkan ibunya untuk pergi ke keluarga yang mempunyai seorang anak gadis yang disukainya.

Ibunya lalu pergi ke keluarga yang dimaksud oleh anaknya. Setelah bertemu dengan gadis yang disukai anaknya, ia minta ijin kepada orang tua si gadis untuk membawa pulang anak gadisnya dan menjadi menantunya. Orang tua gadis itu setuju, anak gadisnya dibawa pulang, kemudian si ibu berkata kepada anaknya: “Anakku, saya sudah membawa seorang gadis untuk menjadi isterimu”.

Akhirnya anak tersebut kawin dengan gadis yang disukainya.

Sesudah beberapa tahun, mereka belum juga memperoleh seorang anak, padahal ibunya sangat mengharapkan seorang cucu.

Pada suatu hari ibunya berkata:

“Anakku, kamu harus mempunyai anak, kalau kamu tidak mempunyai anak maka keturunan kita akan habis. kalau begitu lebih baik saya mencari gadis lain untuk menjadi isteri mudamu”.

“Ibu, janqan berkata seperti itu, sudah cukup hal itu ibu bicarakan berulang kali”, kata anaknya.

Tetapi ibunya tetap membicarakan hal itu terus menerus.

Isteri petani mendengar mertuanya membicarakan hal itu berulang-ulang, ia lalu berpikir:

“Kalau ibu mertua yang mencarikan gadis lain sebagai isteri muda suamiku, saya pasti akan menjadi budak mereka. Lebih baik saya yang mencari gadis untuk dijadikan isteri muda suamiku, sehingga ia patuh kepadaku”.

Isteri petani itu pergi mencari seorang gadis untuk dijadikan isteri muda suaminya. Ia menjelaskan kepada orang tua gadis yang dipilihnya, bahwa suaminya mencari seorang gadis untuk dijadikan isteri mudanya, karena ia tidak bisa punya anak, sedangkan ibu mertuanya ingin sekali memperoleh keturunan. Akhirnya orang tua gadis itu menyetujui anak gadisnya dibawa pulang.

Tetapi selanjutnya isteri petani itu berpikir:

“Kalau saingan saya ini punya anak, pasti ia akan menjadi ratu rumah tangga, dan disayangi oleh suami dan ibu mertua. Saya harus menghalanginya supaya dia tidak bisa punya anak”.

Ia berkata kepada isteri muda:

“Kalau kamu mengandung, beritahu saya ya!”.

“Baiklah”, kata isteri muda.

Jadi setiap kali isteri muda itu hamil, ia segera memberitahukan kepada isteri tuanya, isteri tua lalu memberinya obat, sehingga kandungannya gugur, sampai dua kali ia kehilangan anaknya. Para tetangga bertanya mengapa ia keguguran terus,

“Apakah sainganmu itu tidak menghalangimu untuk punya seorang anak?”.

Iapun menceritakan perjanjian mereka. Para tetangganya lalu menasehati untuk tidak memberitahukan apabila ia hamil lagi.

Ketika ia hamil untuk ke tiga kalinya ia tidak memberitahukan isteri tua. Tetapi pada waktu isteri tua mengetahui ia hamil lagi, ia berkata kepada isteri muda:

“Mengapa kamu tidak memberitahukan saya kalau kamu hamil lagi?”.

Isteri muda itu menjawab:

“Karena kalau saya beritahu, kamu akan memberi saya obat sehingga saya keguguran, mengapa

saya harus memberitahukanmu?”.

isteri tua lalu mencari akal untuk menghalangi isteri mudanya melahirkan seorang anak. Pada

waktu melahirkan akan tiba, isteri tua lalu memberikan obat lagi kepada isteri muda, sehingga bayi dalam kandungan itu tidak dapat lahir. Isteri muda menderita kesakitan yang amat sangat, ia tidak tahan lagi. Ketika ia melihat isteri tua datang, ia amat ketakutan, lalu berteriak:

“Kamu membunuh saya! Kamu sangat jahat, kamu yang membawa saya kesini, kamu sendiri

yang membunuh ketiga anak saya dan sekarang saya juga akan mati. Kalau saya mati, saya akan

menjadi raksasa dan akan saya makan anak-anakmu!”.

Sesudah mengucapkan sumpah, isteri muda meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai seekor kucing. Si suami yang mengetahui semua ini terjadi karena perbuatan isteri tuanya, amat marah:

“Kamu menghancurkan keturunan saya!”.

Ia lalu memukuli isteri tuanya. Akibat pukulan suaminya, isteri tua menderita sakit lalu meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai seekor ayam betina.

Jadi isteri muda terlahir sebagai seekor kucing, isteri tua terlahir sebagai seekor ayam betina.

Setiap kali ayam betina itu bertelur, si kucing selalu makan telur ayam betina itu sampai yang

ketiga kalinya, ayam betina itu berkata:

“Tiga kali sudah kamu makan telur saya, sekarang kamu juga ingin makan saya, kalau saya mati, saya akan memangsa kamu beserta keturunanmu”.

Sesudah ia mengucapkan sumpahnya, ia mati dan terlahir sebagai seekor macan tutul. Si kucing setelah mati terlahir sebagai seekor kijang betina.

Demikian pula macan tutul itu selalu memangsa anak kijang betina sampai ketiga kalinya,

kijang betina itu berkata:

“Hai makhluk jelek, tiga kali sudah kamu makan anak-anak saya, sekarang kamu ingin

memangsa saya juga. Kalau saya mati, saya akan memangsa kamu dan keturunanmu”.

Sesudah ia mengucapkan sumpahnya, ia mati dan terlahir sebagai raksasa. Si macan tutul mati dan terlahir sebagai wanita yang tinggal di Savatthi.

Jadi isteri muda yang kelahirannya yang terakhir sebagai kijang, terlahir kembali sebagai raksasa, dan isteri tua yang pada kelahirannya yang terakhir sebagai macan tutul, terlahir kembali sebagai wanita muda.

Ketika wanita muda itu dewasa, ia menikah dengan seorang pemuda, dan tinggal bersama keluarga suaminya. Tidak lama kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki.

Raksasa itu mengetahui kalau musuhnya sudah mempunyai seorang anak, ia menyamar menjadi teman wanita muda itu, dan berpura-pura mau menengoknya. Ia bertanya:

“Di mana teman saya?”.

“Di dalam kamar, ia baru saja melahirkan seorang bayi”.

“Bayinya laki-laki atau perempuan? Saya ingin melihatnya”.

Raksasa itu masuk ke kamar wanita tersebut. Ketika ia melihat bayi itu ia lalu memakannya, kemudian ia pergi. Demikian pula ketika wanita muda itu melahirkan anak ke duanya, raksasa itu datang lagi dan memakan anaknya.

Ketika wanita itu hamil untuk ketiga kalinya ia mengajak suaminya untuk pulang ke rumah

ibunya dan melahirkan di sana. Raksasa yang mengetahui musuhnya itu hamil lagi, pergi mencari wanita muda itu ke rumahnya dan bertanya kepada keluarga suami wanita muda itu:

“Ke mana teman saya?”.

“Kamu tidak dapat menemuinya di rumah ini, karena disini ada raksasa yang selalu makan anak-anaknya, jadi ia pulang ke rumah orang tuanya”.

“Ia boleh pergi ke mana saja ia suka. Tetapi ia tidak dapat melarikan diri dari saya”, kata si raksasa itu dengan penuh rasa benci. Lalu ia pergi ke kota tempat wanita muda itu berada.

Setelah wanita muda itu melahirkan anaknya dan merasa sehat kembali, ia mengajak suaminya pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di tepi sebuah kolam yang airnya jernih, lalu mereka bergantian mandi.

Kolam itu berada dekat dengan Vihara tempat Sang Buddha berdiam. Pada saat suaminya mandi di kolam, wanita muda itu melihat si raksasa mendekat. Ia mengenali raksasa yang selalu makan anak-anaknya. Dengan amat takut ia berteriak-teriak memanggil suaminya:

“Suamiku! Suamiku! Cepat kemari! Cepat kemari! Di sini ada raksasa!”.

Tanpa menunggu suaminya datang, ia cepat-cepat lari dengan menggendong anaknya, masuk ke Vihara.

Pada saat itu Sang Buddha sedang memberikan Ajaran kepada para muridnya. Wanita muda yang sedang ketakutan dan panik masuk ke Vihara lalu meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha

dan berkata:

“Yang Mulia, saya berikan anak ini, lindungilah anak saya, ada raksasa yang ingin memakannya”.

Raksasa Sumana mengejarnya dan ingin masuk ke dalam Vihara. Sang Buddha meminta Yang Arya Ananda untuk membawa masuk raksasa itu:

“Pergilah Ananda, biarkanlah raksasa itu masuk”.

Raksasa itu masuk ke dalam Vihara, dan wanita muda amat ketakutan:

“Yang Mulia, dia datang ke sini!”.

Sang Buddha berkata:

“Jangan takut, biarkan ia masuk!”.

Ketika raksasa itu tiba, Sang Buddha bertanya:

“Samana, mengapa kamu berlaku seperti itu? Sekarang kamu berhadapan langsung dengan seorang Buddha. Mengapa kamu memupuk rasa benci terhadap makhluk lain selama berabad-abad lamanya? Mengapa kebencian dibalas dengan kebencian? Kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih”.

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

“Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas

dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila

dibalas dengan tidak membenci. Inilah suatu hukum abadi”.

(Dhammapada, Yamaka Vagga no 5)

Setelah mendengar syair tersebut, bathin raksasa Sumana menjadi tenang, rasa bencinya hilang

berganti dengan rasa cinta kasih. Sang Buddha berkata kepada wanita muda itu,

“Berikanlah anakmu kepada raksasa itu”.

“Saya takut, Yang Mulia”.

“Jangan takut. Kamu tidak perlu khawatir lagi terhadapnya”.

Wanita muda itu memberikan anaknya ke raksasa. Kemudian raksasa itu memeluk dan menciumi bayi itu dengan penuh kasih. Bayi itu dikembalikan kepada ibunya, dan ia menangis. Sang Buddha lalu bertanya:

“Mengapa kamu menangis?”.

“Yang Mulia, di masa yang lampau saya berusaha untuk bisa hidup tetapi selalu kelaparan”.

Sang Buddha lalu menghiburnya, dan berkata:

“Jangan khawatir, Sumana”.

Sang Buddha lalu berkata kepada wanita muda itu:

“Bawalah ia pulang ke rumahmu, ajaklah ia tinggal bersamamu, dan berikan bubur yang enak”.

Wanita muda tersebut mengajak raksasa itu pulang ke rumahnya, dan tinggal bersama mereka di dalam rumah. Tetapi si raksasa tidak betah tinggal di dalam rumah, akhirnya ia tinggal di hutan dekat rumah wanita muda itu. Ia selalu membantu wanita muda itu dan juga penduduk di sekitar desa. Karena kebenciannya telah hilang dan berganti dengan cinta kasih, ia hidup bahagia di hutan.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:

“Kemanakah Bhante akan pergi?”.

Para bhikkhu itu menjawab:

“Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman”.

Penduduk desa itu menyarankan:

“Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu”.

Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:

“Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana”. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.

Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu,

“Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri”.

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:

“Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini”.

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:

“Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi”. Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.

Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:

“Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?”. Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.

Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:

“Saudaraku, kamu sakit apa?”.

“Saya sakit pilek”.

“Saya batuk-batuk”.

“Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan”.

“Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan”.

“Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan”.

“Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha”.

Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:

“Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?”.

Para bhikkhu menjawab:

“Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia”.

“Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu”.

“Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana”.

“Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa

“senjata”. Dan sekarang kamu harus membawa “senjata” bila kamu kembali ke sana”.

“Senjata apakah itu Yang Mulia?”

Sang Buddha lalu menjawab,

“Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi”.

Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:

Inilah yang harus dilaksanakan

oleh mereka-mereka yang tekun dalam kebaikan.

Dan telah mencapai ketenangan bathin.

Ia harus pandai, jujur, sangat jujur.

Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.

Merasa puas, mudah dirawat

Tiada sibuk, sederhana hidupnya

Tenang indrianya, selalu waspada

Tahu malu, tidak melekat pada keluarga

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil

yang dapat dicela oleh para Bijaksana.

Hendaklah ia selalu berpikir:

“Semoga semua makhluk sejahtera dan damai,

semoga semua makhluk berbahagia”

Makhluk apapun juga

Baik yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali

Yang panjang atau yang besar

yang sedang, pendek, kurus atau gemuk

Yang terlihat atau tidak terlihat

Yang jauh maupun yang dekat

Yang telah terlahir atau yang akan dilahirkan

Semoga semuanya berbahagia

Jangan menipu orang lain

Atau menghina siapa saja,

Janganlah karena marah dan benci

Mengharapkan orang lain mendapat celaka

Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya

Untuk melindungi anaknya yang tunggal

Demikianlah terhadap semua makhluk

Dipancarkannya pikiran kasih sayang tanpa batas

Hendaknya pikiran kasih sayang

Dipancarkannya ke seluruh penjuru alam,

ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling

Tanpa rintangan, tanpa benci, atau permusuhan

Sewaktu berdiri, berjalan, atau duduk

Atau berbaring sesaat sebelum tidur

Ia tekun mengembangkan kesadaran ini

Yang dinamakan “Kediaman Brahma”

Tidak berpegang pada pandangan yang salah

Tekun dalam sila dan memiliki kebijaksanaan,

Hingga bathinnya bersih dari segala nafsu indria

Maka ia tak akan lahir lagi dalam rahim manapun juga

Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:

“Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi”.

Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.

Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa “senjata” yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.

Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,

“Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.

Mereka lalu mengembangkan Pandangan terang.

Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:

“Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan”.

Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:

“Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kebijaksanaan”

(Dhammapada, Citta Vagga no. 8)

Ia harus menjaga apa yang telah ditaklukkannya dan tidak melekat pada apapun juga.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 5 Comments »

Permaisuri Raja Bimbisara bernama Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Ratu Khema telah mengucapkan permohonannya di kaki Buddha Padumuttara, ia ingin sekali mempunyai rupa dan wajah yang cantik. Tetapi ia mendengar bahwa Sang Buddha Gotama mengatakan, kecantikan bukan merupakan hal yang utama. Pada kelahiran-kelahirannya yang terdahulu, Ratu Khema selalu menjadi wanita yang amat cantik. Raja Bimbisara yang mengetahui bahwa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan lagu yang memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.

Ratu Khema ketika mendengar lagu tersebut penasaran, karena Veluvana digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.

“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?”, tanyanya kepada para penyanyi.

“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang hutan Veluvana”, jawab mereka. Ratu Khema lalu ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.

Sang Buddha yang ketika itu sedang berkumpul dengan murid-muridnya dan memberikan Ajarannya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping Sang Buddha.

Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir,

“Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang utama. Tetapi di sisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini. Orang-orang itu pasti salah dalam menggambarkan pandangan Sang Buddha tentang kecantikan, betul-betul saya tidak mengira”. Ia tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangannya tetap tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.

Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema amat serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahanlahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulangtulang di dalam sebuah kantong. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan,

“Pada suatu saat nanti wajah yang muda dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua ini bukan kenyataan!”.

Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata:

“Khema, kamu salah. Inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah! Sekarang lihatlah semua kenyataan ini”.

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

“Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh”.

Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya:

“Khema, semua makhluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja”.

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

“Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria”. (Dhammapada, Tanha Vagga no. 14)

Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbisara,

“Baginda, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai Nibbana?”.

Raja Bimbisara menjawab:

“Yang Mulia, ijinkanlah ia memasuki Sangha Bhikkhuni, jangan dulu mencapai Nibbana!”. Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 3 Comments »

Tersebutlah seorang anak bernama Sopaka. Ia berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ketika Sopaka berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kawin lagi dengan seorang laki-laki yang amat kejam, jahat dan kasar. Ia selalu memukul, mencaci-maki dan membentak Sopaka kecil yang ramah, tidak berdosa dan baik hati itu. Ayah tirinya selalu berpikir:

“Anak ini selalu menyusahkan saja. Ia tidak ada gunanya. Saya amat membencinya tetapi tidak dapat melakukan apa-apa kepadanya, karena ibunya amat mencintainya. Apa yang harus saya lakukan?”.

Pada suatu malam ia berkata kepada Sopaka:

“Anakku, marilah kita berjalan-jalan”.

Sopaka sangat heran karena ayah tirinya berbicara begitu ramah sehingga ia berpikir:

“Ayah tiriku tidak pernah berbicara begitu ramah kepadaku. Tetapi sekarang kelihatannya amat baik. Mungkin ibuku yang memintanya untuk berlaku ramah kepadaku”. Lalu ia ikut pergi bersama ayah tirinya.

Ayah tirinya membawanya ke kuburan yang banyak mayat berserakan. Lalu ia mengikat Sopaka ke satu mayat dan meninggalkannya di sana. Sopaka segera menangis:

“Ayah, saya mohon ayah tidak mengikat saya ke mayat yang bau dan kotor ini. Saya mohon, ayah. Saya amat takut, ayah”. Sopaka menjerit sekerasnya. Tetapi ayah tirinya pergi tanpa memperdulikan Sopaka lagi.

Di sekitar tempat itu amat gelap, Sopaka amat ketakutan. Tak ada seorang pun di kuburan itu. Karena Sopaka amat ketakutan, rambutnya berdiri dan keringat mulai menetes membasahi seluruh tubuhnya. Bajunya basah oleh keringat yang menetes. Apalagi ketika ia mendengar suara-suara harimau, serigala, macan tutul, dan binatang buas lainnya, Sopaka menangis dan menjerit sekeraskerasnya. Sopaka menyadari bahwa ia hanya seorang diri di situ dan tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.

Tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang berwajah amat mulia, tampan dan bersinar amat terang mendatanginya. Sopaka mendengar ia berkata dengan suaranya yang amat lembut:

“Sopaka, janganlah menangis. Saya ada disini untuk menolongmu. Jangan takut!”. Dan pada saat itu juga Sopaka dapat melepaskan ikatannya dan berdiri di hadapan Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Sopaka tidak mempercayai penglihatan dan pendengarannya. Meskipun Sang Buddha berada di tempat yang sangat jauh dari kuburan itu, tetapi Beliau mendengar tangisan Sopaka, dan mengirimkan sinar terang ke depan Sopaka dan memutuskan tali ikatan dengan kekuatanNya. sesampainya Sopaka yang malang di Vihara, Sang Buddha memandikan dan memakaikannya jubah, lalu memberinya makanan, dan menghiburnya.

Ketika ayah tiri yang kejam tersebut pulang ke rumah, ibu Sopaka bertanya:

“Kemana anakku?”.

“Saya tidak tahu”, jawab laki-laki kejam itu.

“Ia pulang sebelum saya pulang. Saya pikir, ia sedang tidur”.

Ibu Sopaka lalu mencari-cari anaknya tetapi tidak ditemukannya. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia menangis dan menangis terus menerus memikirkan Sopaka.

Keesokan paginya ia berpikir:

“Sang Buddha pasti mengetahui semuanya, masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Saya harus ke Vihara menemui Sang Buddha, dan bertanya dimanakah anak saya berada?”.

Dengan menangis dan bercucuran air mata, ia pergi ke Vihara.

Sang Buddha bertanya kepadanya:

“Mengapa engkau menangis?”.

“Oh, Sang Buddha”, kata ibu Sopaka, “Saya hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Ia hilang sejak semalam. Suami saya membawanya berjalan-jalan, ketika pulang ke rumah, ia berkata bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi dengan anak saya”.

“Jangan khawatir, anakmu selamat. Ia ada di sini”.

Setelah berkata demikian, Sang Buddha memanggil Sopaka, yang sekarang telah menjadi samanera, bukan sebagai Sopaka yang dahulu lagi. Ibu Sopaka amat bahagia melihat anaknya kembali.

Mendengar ajaran Sang Buddha, ibu Sopaka amat berbahagia, dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah menyelamatkan anaknya. Kemudian ia menjadi pengikut Sang Buddha.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Pada suatu hari ketika Sang Buddha sedang duduk bermeditasi di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddha-Nya, Sang Buddha melihat seorang laki-laki yang amat miskin tinggal di Alavi. Sang Buddha mengetahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian. Sang Buddha ingin membantu orang itu, lalu bersama dengan lima ratus orang muridnya, Sang Buddha melakukan perjalanan menuju Alavi.

Penduduk Alavi setelah mengetahui kedatangan Sang Buddha, segera mengundang Sang Guru Agung menjadi tamu mereka. Ketika orang miskin itu mendengar kedatangan Sang Buddha, ia ingin sekali bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Ajarannya. Tetapi, pada hari itu seekor lembunya tersesat. Ia bimbang,

“Apakah saya mencari lembu yang hilang itu ataukah saya pergi menemui Sang Buddha untuk mendengarkan AjaranNya?”.

Akhirnya ia memutuskan:

“Pertama-tama saya akan mencari lembu yang hilang itu terlebih dahulu, kemudian saya akan pergi menemui Sang Buddha”.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke hutan untuk mencari lembunya yang tersesat. Penduduk desa Alavi mempersilahkan Sang Buddha beserta murid-muridnya untuk duduk di tempat yang telah mereka persiapkan, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya dengan penuh hormat. Sesudah makan, Sang Buddha biasanya mengucapkan terima kasih dengan membacakan Paritta Pemberkahan, tetapi kali ini Sang Buddha berkata:

“Ia yang menyebabkanKu datang ke sini bersama para bhikkhu sedang pergi ke hutan mencari lembunya yang hilang. Kita tunggu sampai dia kembali, setelah ia datang Aku akan membabarkan Dhamma”. Kemudian Sang Buddha duduk diam.

Orang miskin itu setelah menemukan lembunya yang tersesat, segera menggiring lembunya kembali ke kandang. Ia lalu berpikir:

“Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya harus segera pergi mengunjungi dan memberikan hormat kepada Sang Buddha”.

Dengan menahan rasa lapar yang amat sangat, ia segera pergi menemui Sang Buddha.

Setelah orang itu bernamaskara di hadapan Sang Buddha, ia lalu duduk diam-diam di salah satu sisi. Sang Buddha setelah melihat orang itu datang, segera berkata kepada orang yang melayaninya:

“Apakah masih ada makanan?”.

“Masih ada Yang Mulia, masih banyak makanan”.

“Berikanlah makanan kepada orang ini”.

Kemudian orang itu diberikan bubur dan makanan lainnya. Setelah selesai makan, ia mencuci mulutnya lalu duduk dengan tenang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma, menjelaskan Empat Kesunyataan Mulia. Pada akhir khotbah, orang itu mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Setelah Sang Buddha selesai membabarkan Dhamma, Beliau lalu membacakan Paritta Pemberkahan dan segera meninggalkan desa itu.

Di perjalanan, para bhikkhu menyatakan keheranannya dengan apa yang Sang Buddha lakukan pada hari ini, mereka berkata:

“Saudaraku, Guru kita belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tetapi melihat orang itu kelaparan, Sang Guru meminta penduduk desa menyediakan makanan untuknya”.

Sang Buddha segera berhenti berjalan, berbalik dan bertanya:

“O, para bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?”.

Setelah Sang Buddha mendengar apa yang mereka bicarakan, Beliau berkata:

“O, para bhikkhu, kadatanganKu kemari dengan melalui perjalanan yang berat dan jauh ini adalah karena Aku melihat orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian. Pagi-pagi sekali dengan menahan lapar, ia ke hutan mencari lembunya yang hilang. Jadi kalau Aku membabarkan AjaranKu kepada orang yang perutnya lapar, ia tidak akan dapat mengerti apa yang Kuajarkan. Karena itu Aku melakukan apa yang harus Kulakukan. O, para bhikkhu, kelaparan adalah penyakit yang paling berat”.

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

“Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat. Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan yang paling besar. Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya, orang bijaksana memahami bahwa Nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi” (Dhammapada, Sukha Vagga no. 7)

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 2 Comments »

Kisah ini menceritakan tentang Kala, anak seorang jutawan yang bernama Anathapindika. Meskipun ayahnya amat gemar berdana dan percaya akan hasil dari perbuatan baik yang dilakukannya, Kala tidak pernah menunjukkan keinginannya untuk mengunjungi Sang Buddha atau menemui Sang Buddha apabila Beliau datang ke rumah ayahnya, atau mendengarkan Dhamma, ataupun melayani Anggota Sangha. Ayahnya selalu menasehatinya:

“Anakku, jangan berlaku begitu”.

Tetapi Kala tidak pernah memperhatikan nasehat ayahnya. Suatu ketika ayahnya berpikir:

“Kalau anakku ini tetap bertingkah laku seperti itu, apabila meninggal ia akan masuk ke Neraka Avici. Bagaimana mungkin saya biarkan hal itu terjadi di depan mata saya?”.

“Tetapi, di dunia ini segala sesuatu dapat dilemahkan oleh hadiah”. Ia berkata kepada anaknya:

“Anakku, pergilah ke Vihara, dengarkanlah Dhamma yang di ajarkan oleh Sang Buddha, setelah selesai pulanglah. Kalau kamu mau pergi ke Vihara, saya akan memberikan seratus keping uang”.

“Ayah, benarkah ayah akan memberikan saya seratus keping uang, kalau saya pergi ke Vihara?”.

“Benar, anakku”, jawab ayahnya.

Sesudah ayahnya berjanji tiga kali, Kala lalu pergi ke Vihara. Tetapi ia tidak mendengarkan

Dhamma, melainkan ia tidur nyenyak di tempat yang nyaman di Vihara, keesokkan harinya ia baru pulang.

Ayahnya berkata:

“Hari ini anakku sudah ke Vihara, cepat sediakan bubur dan makanan lainnya”. Jutawan itu segera memberikan bubur dan makanan lain kepada anaknya dan menyuruhnya makan.

Tetapi Kala berkata:

“Saya tidak mau makan, kecuali diberi uang terlebih dahulu”.

Ia tidak mau menyentuh makanannya. Ayahnya tidak memaksanya untuk makan, tetapi ia memberi uang yang dijanjikannya. Setelah menerima uang, Kala makan makanan yang tersedia di hadapannya.

Keesokan harinya si ayah ingin anaknya pergi lagi ke Vihara, ia berkata:

“Anakku, saya akan berikan kamu seribu keping uang kalau kamu mau duduk di hadapan Sang Buddha dan mendengarkan AjaranNya. Pulanglah setelah selesai”.

Kala segera pergi ke Vihara. Ia duduk di hadapan Sang Buddha. Dan ketika Sang Buddha mengucapkan satu syair, ia tidak mengerti arti syair itu, tetapi ia tidak mau pulang. Ia berpikir:

“Saya pasti akan dapat mengerti arti syair”.

Karena penasaran ia tetap duduk dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, ia berusaha untuk mengerti. Sang Buddha yang mengetahui sebab dari kedatangannya ke Vihara, sengaja membuatnya tidak dapat mengerti dengan jelas arti syair itu.

“Saya harus mengerti arti syair itu”, pikir Kala. Jadi ia tetap tinggal dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, akhirnya ia mengerti dan mencapai Tingkat Kesucian.

Keesokan harinya, Kala bersama dengan para bhikkhu ikut menyertai Sang Buddha pergi ke Savatthi. Ketika Anathapindika melihat anaknya, ia berkata:

“Hari ini, kelakuan anakku amat menyenangkan hatiku”.

Dan pada saat itu pula Kala berpikir:

“Saya harap ayah tidak memberikan saya uang yang dijanjikannya di hadapan Sang Buddha. Saya harap ia tidak bercerita karena sejumlah uanglah saya mau pergi ke Vihara”. (Sang Buddha mengetahui bahwa karena sejumlah uang, Kala mau pergi ke Vihara).

Jutawan Anathapindika mempersembahkan bubur dan makanan lainnya kepada Sang Buddha dan kepada bhikkhu Sangha, ia juga mempersembahkan makanan kepada anaknya. Kala duduk dengan diam, ia makan bubur dan makanan lainnya. Ketika Sang Buddha selesai makan, Jutawan itu memberikan sebuah dompet yang berisi seribu keping uang kepada anaknya, dan berkata:

“Anakku, tentu kamu masih ingat bahwa saya membujukmu untuk pergi ke Vihara, dengan janji akan memberimu seribu keping uang, ambillah uang ini”. Ketika Kala melihat kepada Sang Buddha, ia merasa amat malu dan berkata:

“Saya tidak mau uang ini”.

“Ambillah, anakku”, kata ayahnya.

Tetapi Kala tetap menolaknya. Jutawan Anathapindika itu mengucapkan terima kasih kepada Sang Buddha, seraya berkata:

“Yang Mulia, kelakuan anak saya pada hari ini amat menyenangkan saya”.

“Mengapa, saudara?”.

“Yang Mulia, kemarin dulu saya menyuruhnya pergi ke Vihara sambil berkata, ‘Saya akan memberi kamu seratus keping uang’. Kemarin ia menolak untuk makan sebelum saya berikan uang itu kepadanya. Tetapi pada hari ini, ketika saya berikan uang, ia malahan menolaknya”.

Sang Buddha berkata:

“Itulah yang telah terjadi, saudara. Hari ini ia telah mencapai Tingkat Kesucian, telah mencapai Alam Surga dan Alam Brahma”.

Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair:

“Ada yang lebih baik dari pada kekuasaan mutlak atas bumi, dari pada pergi ke Surga atau dari pada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang Suci yang telah memenangkan arus (Sotapattiphala)”. (Dhammapada, Loka Vagga no. 12)

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Kisah ini tentang seorang anak jutawan, anak orang yang amat kaya di Benares. Ia bernama Mahadhana. Ia terlahir di sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki kekayaan sebanyak delapan ratus juta keping uang. Ayah dan ibu Mahadhana berpikir:

“Harta kami amat banyak, untuk apa anak kami bekerja lagi, lebih baik ia bersenang-senang”.

Kemudian mereka membiarkan anaknya bersenang-senang saja, dengan bernyanyi, menari dan bermain musik, setiap waktu.

Di kota yang sama terdapat pula orang kaya lainnya. Ia juga mempunyai kekayaan sebanyak delapan ratus juta keping uang. Mereka mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Mereka juga mempunyai pikiran yang sama, yaitu membiarkan anak gadisnya bersenang-senang saja. Ketika kedua anak ini dewasa, kedua orang tuanya mengawinkan anak mereka, seperti kebiasaan pada waktu itu. Beberapa waktu kemudian kedua orang tua itu meninggal dunia. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Mahadhana dan istrinya memperoleh warisan dari kedua orang tuanya. Harta mereka menjadi dua kali delapan ratus juta keping uang.

Mahadhana mempunyai kebiasaan mengunjungi Raja tiga kali dalam satu hari. Di kota terdapat sekelompok orang yang kebiasaannya bermabuk-mabukkan dengan minum minuman keras. melihat Mahadhana, mereka berpikir alangkah baiknya kalau mereka dapat membuat Mahadhana bermabuk-mabukkan dan menghamburkan uangnya, dengan demikian mereka dapat ikut bersenang-senang.

“Kalau anak jutawan ini menjadi pemabuk dan menjadi teman kita, dapat kita peras kekayaannya. Jadi kita harus memperlihatkan kepadanya, bagaimana caranya bermabuk-mabukkan”.

Mereka lalu menyediakan minuman keras, daging panggang, garam, tembakau dan gula yang disimpan di dalam kantong baju mereka. Kemudian mereka duduk di jalan yang biasa dilalui Mahadhana. Ketika Mahadhana mendekat, mereka segera minum minuman keras, memasukkan garam dan gula ke mulut dan juga mengunyah tembakau. Orang-orang itu berkata:

“Semoga tuanku, anak jutawan hidup seratus tahun! Dengan bantuanmu kami dapat makan dan minum sepuas hati! Cobalah minuman ini tuanku, enak sekali”.

Mendengar kata-kata mereka, Mahadhana bertanya kepada pelayan yang mengiringinya:

“Apa yang mereka minum?”

“Minuman istimewa tuanku”

“Enakkah rasanya?”

“Tuanku di dunia ini, tidak ada minuman yang lebih enak dari pada minuman ini”.

“Jadi!”, kata Mahadhana, “Saya harus mencoba”.

Kemudian ia menyuruh pelayannya mengambil minuman itu sedikit, dicobanya, lalu ia mengambil sedikit lagi, sedikit lagi, akhirnya ia menjadi mabuk. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Mahadhana menjadi pemabuk.

Orang-orang berkerumun mengelilingi Mahadhana yang menghamburkan uangnya, seratus atau dua ratus keping uang. Akhirnya perbuatan buruk itu menjadi kebiasaannya, setiap mabuk ia menghamburkan uangnya. Dengan meraup uang di tangannya, ia berteriak-teriak:

“Ambillah uang ini dan bawakan saya bunga! Ambillah uang ini bawakan saya minyak wangi! Orang ini pandai bermain dadu, orang ini pandai bermain musik! Berikanlah orang ini seribu keping dan orang itu dua ribu keping!”. Dengan cara seperti itulah ia menghabiskan uang warisan orang tuanya. Ketika teman-temannya tahu uangnya habis, mereka berkata kepada Mahadhana:

“Tuanku, hartamu sudah habis. Apakah istrimu punya uang?”.

“Oh ya, ia juga punya uang, ambillah uang istriku”.

Kemudian ia pun menghabiskan uang istrinya dengan cara yang sama.

Setelah uangnya habis, Mahadhana menjual ladang, tanah dan kebun, juga kereta kudanya. Ia menjual semua peralatan makannya, selimut, mantel dan tempat tidurnya. Akhirnya semua hartanya habis terjual, ia jatuh miskin. Hidupnya tidak karuan lagi. Di usia tuanya ia menjual hartanya yang terakhir yaitu rumahnya, tidak ada lagi harta yang tersisa sedikitpun, ia harus pergi dari rumahnya sendiri. Dengan istrinya, ia menemukan sebuah gubuk, yang menempel di sisi dinding tembok sebuah rumah. Dengan mangkuk yang pecah, ia menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain. Ia hanya makan makanan sisa yang dibuang orang.

Suatu hari ia berdiri di depan Vihara tempat Sang Buddha berdiam, untuk meminta makanan. Samanera memberikan makanan kepada Mahadhana, anak jutawan yang sekarang menjadi pengemis itu. Sang Buddha melihatnya lalu tersenyum. Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Sang Buddha lalu bercerita:

“Ananda, lihatlah anak jutawan itu! Di kota ia menghambur-hamburkan harta kekayaannya sebanyak dua kali delapan ratus juta keping uang. Sekarang dengan istrinya, ia menjadi pengemis. Apabila dalam kehidupannya ini, ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya dengan baik, ia akan menjadi orang yang terkaya di kota ini. Dan apabila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian Arahat, dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami). Apabila di usia setengah bayanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor dua di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi seorang bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami). Dan apabila di usia tuanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalankan usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor tiga di kota ini. Bila is pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Tetapi sekarang ia jatuh bangkrut dan ia juga tidak mengenal Dhamma, ia akan menjadi seekor bangau yang berdiam di danau kering”.

Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair:

“Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, ia akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya”. (Dhammapada, Jara Vagga no. 10)

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak-anak mereka bermain-main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak-anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya.

“Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka”. Anak-anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.

Pada suatu hari, anak-anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain-main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah seorang temannya masuk ke dalam Vihara.

“Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami”. Salah seorang anak laki-laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum.

Sang Buddha berkata :

“Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini”.

Kemudian semua anak-anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata-kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha.

Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis:

“Anak kami telah manganut pandangan sesat”.

Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata:

“Kami akan menyuruh anak-anak kami melayani Sang Guru Agung kita” Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong-bondong mengunjungi Sang Buddha.

Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:

“Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara”. (Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)

“Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia” (Dhammapada, Niraya Vagga no. 14)

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti dibawah ini:

“Hidupku adalah tidak pasti, bagiku hanya kematianlah satu-satunya yang pasti. Aku pasti mati, hidupku berakhir dengan kematian. Hidupku tidaklah pasti, kematian adalah pasti.”

Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (Khandha). Beliau juga berkata, “seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah siap untuk bertemu musuh (misalnya seekor ular bebisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian dengan penuh kesadaran. Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai kebahagiaan (Sugati).

Banyak orang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang kembali ke Negara Alavu untuk menjelaskan Dharma untuk kedua kalinya. Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikku, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha. Tetapi ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dengan cepat menggulung beberapa gulungan dan membawa ke ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda itu akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya, Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal dunia pada saat ia pergi ketempat penenun. Oleh karena itu sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dharma dalam perjalanan menuju tempat penenun dan bukan pada saat ia kembali. Jadi, ketika gadis penenun itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya. Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban yang diberikan sebagai berikut:

Pertanyaan 1. Dari mana asalmu?

Jawaban Saya tidak tahu.

Pertanyaan 2. Kemana kamu akan pergi?

Jawaban Saya tidak tahu.

Pertanyaan 3. Tidakkah kamu tahu?

Jawaban Ya, saya tahu.

Pertanyaan 4. Tahukah kamu?

Jawaban saya tidak tahu, Bhante.

Mendengar jawaban itu, orang-orang berfikir bahwa gadis penenun muda itu sangat tidak hormat kepada Sang Buddha. Kemudia Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan ia pun menjelaskan.

“Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama Anda, Anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang. Karena itu jawaban saya,”Saya tidak tahu.”

Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah yang akan saya tempuh setelah ini, oleh karena itu jawaban saya, ”Sya tidak tahu.”

Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu suatu hari saya akan meninggal dunia, oleh karena itu jawaban saya, “ya, saya tahu.”

Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia, oleh karena itu jawaban saya, “Saya tidak tahu.”

Sang Buddha sangat puas mendengar penjelasan dan berkata kepada orang-orang yang hadir, “Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan seperti orang buta.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut:

“Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri, demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi kea lam surga.”

Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat penenun. Ketika ia sampai disana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan penenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, ia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujung gulungan menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda itu meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih. Dengan berlinang air mata, ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang bhikkhuini. Kemudian ia menjadi seorang bhikkhuni dan tidak lama kemudia mencapai tingkat kesucian arahat.

(Dhammapada Atthakatha)

Comments 1 Comment »

Seorang pria mendatangi seorang Guru, katanya : “Guru, saya sudah bosan hidup, benar-benar jenuh, rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau, apapun yang saya lakukan selalu gagal, saya ingin mati”, Sang Guru tersenyum : ”Oh, kamu sakit..”.
”Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan, itu sebabnya saya ingin mati”, Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan : “Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama “Alergi Hidup”, Ya, kamu alegi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit.
Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita”. “Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku”, kata sang Guru. “Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi”, pria itu menolak tawaran sang Guru.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”, Tanya Guru.
“Ya, memang saya sudah bosan hidup”, jawab pria itu lagi.
“Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini… Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sdangkan searuh sisanya kamu minum besok sore jam enam. Maka besok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang”.
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betuk-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati. Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai. Tinggal satu malam dan satu hari ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, “Sayang, aku mencintaimu”. Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Besoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya, dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk ke dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istrik pun merasa aneh sekali dan berkata : “Sayang…, apa yang terjadi hjari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku sayang”.
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?” dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta mununggunya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata : “Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu”. Anak-anak pun tidak ketinggalan: “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami”.
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata: “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dalam kesaaran bahwa maut dapat menjemputnya kapan saja, maka kau akan menikmati setiap kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan”.
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernag lupa dalam kekinian.
Itulah sebabnya, ia selalu bahagia…, selalu tenang…, selalu HIDUP…

Comments No Comments »