Archive for the “Cerita Bhuddis” Category

Seperti banyak kepala biarawan di jamannya, Ajan Pan belajar di vihara desanya. Beliau pernah meninggalkan desa selama beberapa tahun untuk mencari pengetahuan dari guru-guru lainnya, dan kembali ke desa asalnya untuk mengajar. Pada akhirnya, beliau menjadi kepala biarawan di vihara desa. Pan dilahirkan di desa Udder Cow. Saat ia berumur dua puluh satu tahun, beliau ditahbiskan menjadi bhikkhu di vihara desa Udder Cow di tahun 1896 dan diberi nama Sonantho. Ajan Sun, kepala biarawan vihara desa Mo Fish, adalah pembimbing beliau.

Sebelum ia menjadi kepala biarawan, di antara masa vassa Ajan Pan sering memimpin murid-muridnya melakukan thudong [perjalanan ziarah ke tempat suci]. Pada suatu waktu, Ajan Pan memimpin sekelompok empat orang bhikkhu ke Buddha’s Footprint [Jejak Kaki Buddha] di bagian utara Saraburi di Dataran-dataran Pusat. Suatu malam, setelah mereka berjalan mengikuti jejak gajah menyeberangi hutan, mereka tiba di daerah seperti padang rumput yang dikenal sebagai thung dalam bahasa Thai. Lucien Hanks, seeorang ahli antropologi Amerika yang melihat sebuah thung di Dataran-dataran Pusat di pertengahan abad ke dua puluh, menggambarkannya seperti “tempat yang sangat luas yang diselimuti dengan rumput-rumput tinggi, rumput alang-alang, dan di tempat-tempat yang lebih tinggi di daerah ini ditutupi dengan semak-semak tebal”. Hanks memperhatikan bahwa para penduduk desa umumnya menghindari daerah ini. Mereka yang berjalan melalui sebuah thung melaporkan bahwa “saat mereka naik di punggung kerbau air, di kiri dan kanan mereka hanya terlihat rumput. Disamping itu, ular-ular sebesar lengan bergerak di semak belukar, buaya-buaya kadang bersembunyi di dekat danau-danau. Tetapi, binatang-binatang ini tidak mengerikan seperti kelompok-kelompok gajah yang dapat menyerang dengan tiba-tiba dan membunuh manusia yang membuat para gajah terkejut.”

Ajan Pan dan murid-muridnya tiba di hutan setelah berjalan sekitar dua kilometer menyeberangi sebuah thung, mereka memasuki thung tersebut setelah melewati sekelompok rumah pedesaan yang beranggota lima rumah tangga. Di dekatnya terdapat sebuah danau, tetapi pada saat itu danau tersebut tak berair. Memeriksa tanah tersebut, Ajan Pan memberitahu para bhikkhu bahwa mereka semua akan menginap di sini untuk malam itu. Beliau memberikan peringatan keras. “Setelah kalian memasang klot [tenda payung besar], jangan berpindah. Apapun yang terjadi, kalian harus rela mati demi Dhamma.”

Untuk menciptakan lingkungan sunyi, para bhikkhu memberi jarak di antara setiap klot, mereka mendirikan klot di dekat pinggiran hutan. Tidak lama setelah para bhikkhu selesai mendirikan tenda-tenda mereka, sekelompok penduduk desa tiba. Mereka memberi persembahan air gula. Setelah para bhikkhu meminum air, para penduduk mendesak para bhikkhu menginap di dekat tempat tinggal mereka daripada di tempat terbuka. Mereka memberitahu Ajan Pan, “Yang Mulia, ini adalah wilayah gajah. Sekelompok gajah tinggal di hutan ini. Baru-baru ini beberapa bhikkhu, yang memasang klot mereka di sini, diserang dan diinjak oleh gajah-gajah liar. Akan lebih aman jika para bhikkhu memindahkan klot ke desa. Selanjutnya, jika terjadi sesuatu, kita dapat datang membantu Anda.” Ajan Pan tidak menerima undangan mereka. Ia memberitahu para penduduk, “Kita mempunyai peraturan bahwa saat seorang bhikkhu telah memasang klotnya, ia tidak diperbolehkan memindahnya. Apapun yang terjadi, kita harus menghadapinya.” Ajan tersebut bersikeras bahwa para bhikkhu tetap tinggal dimana mereka telah membuat kemah. Mengetahui kebiasaan gajah-gajah liar, para penduduk memperingati para bhikkhu, “Jika para gajah muncul, mohon pukul tutup mangkok makanan kalian dengan keras. Kita akan segera datang membantu kalian saat mendengar signal tersebut.” Selanjutnya, mereka kembali ke desa sebelum malam hari tiba.

Setelah para penduduk pergi, Ajan Pan memberitahu para bhikkhu melakukanbrahmavihara-bhavana, atau meditasi pada empat keadaan mulia: cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan simpati (mudita), dan batin yang tak tergoyahkan (upekkha). Segera setelah para pelaku meditasi mencapai konsentrasi, pikiran mereka penuh dengan belas kasih, luas, tak terbatas, bebas dari kebencian dan pikiran jelek, mereka memperluas cinta kasih mereka kepada semua makhluk. Dengan setiap bhikkhu duduk dalam samadhi menurut tingkat mereka masing-masing, suasana di sekitar mereka sunyi dan hening. Sekitar jam 10 malam, seperti yang diperingatkan oleh para penduduk, para bhikkhu melihat sekelompok gajah, yang dipimpin oleh gajah besar dengan gading pendek, keluar dari hutan. Bulan hampir penuh, sehingga langit sangat terang. Para bhikkhu dapat melihat setiap gajah dengan jelas. Klot Ajan Pan adalah yang terdepan, diikuti dengan empat bhikkhu lainnya. Saat pemimpin gajah mendatangi klot Ajan Pan, gajah besar melangkah melewatinya dan berdiri tak bergerak. Ajan Pan berada di bawah perut gajah yang besar, yang meluas pada setiap sisi. Untuk keluar dari hutan, setiap gajah di kelompok tersebut harus melangkahi klot yang menghalangi jalannya. Melangkah di samping setiap klot, para gajah satu persatu menyelip masuk melewati para bhikkhu, dan mulai menyeberangi thung menuju hutan yang berada di ujung lapangan.

Tetapi, gajah yang terakhir nakal. Para penduduk menamakannya Twist karena salah satu gadingnya tidak lurus. Bukannya mengikuti kelompok gajah lainnya menyeberangi thung, Twist berputar kembali dan mulai berlari menuju para bhikkhu. Ia tiba-tiba menyerang klot Ajan Pan. Pada saat yang menakutkan ini, Ajan tersebut tidak terganggu. Belakangan ia memberitahu para muridnya, “Dengan cita-cita menuju pengertian pencerahan (bodhinyana),batin saya tak tergoyahkan; jika saya meninggal dalam keadaan ini, saya akan langsung dilahirkan di Surga Tusita dan melihat gajah tersebut dari sana.” Setelah mencapai jhana ke tiga [konsentrasi perenungan], Ajan Pan mengendalikan pikirannya untuk memasuki pikiran-pikiran para muridnya. “Selanjutnya, saya melihat ke dalam pikiran keempat rekan saya, dan melihat mereka semua bercita-cita menuju pengertian pencerahan. Saya merasa lega bahwa semua rekan bhikkhu saya mempunyai tujuan yang sama.”

Maha Wira, salah satu bhikkhu thudong yang menyaksikan penyerangan Twist, belakangan menceritakan kembali cerita ini. “Saat Twist lari ke klot Luang Pho [Bapak Ketua] Pan, pemimpin gajah [yang mengikuti Twist] menyerang Twist. Pemimpin gajah memakai belalainya memukul Twist dari belakang. Luang Po mendengar suara pukulan tiga kali. Setiap pukulan mendorong kepala Twist ke tanah. Tetapi hal itu tidak menghentikan Twist untuk datang mendekat. Akhirnya, gajah besar dengan belalainya memegang erat gading Twist dan menarik keras. Twist terjatuh ke tanah. Hal itu membuatnya berhenti menyerang. Twist berdiri dan berlari menyeberangi thung. Ketua gajah berjalan dengan perlahan-lahan memutari thung sejenak. Setelah melihat bahwa tidak akan terjadi masalah lagi, gajah besar berputar ke klot Ajan, berlutut dan mengangkat belalainya seperti ia sedang melakukan penghormatan. Selanjutnya, ia mengikuti kelompoknya dan menghilang dari pandangan kita.” Ajan Pan memberitahu para muridnya, “Saya kira gajah tersebut pasti adalah bodhisatta.”

Naskah Asli:
A Bodhisat Elephant – Diterbitkan oleh Majalah Buddhis “Inquiring Mind” edisi musim gugur 2003, vol. 20, no. 1

Diterjemahkan oleh : Jenny H – Surabaya
Editor : Bhikkhu Uttamo

Comments No Comments »

Sebelum Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini, ada dua desa pertapa yang letaknya tidak jauh dari Rajagaha, bernama Desa Upatissa dan Desa Kolita. Pada suatu hari seorang istri dari seorang pertapa bernama Rupasari, yang tinggal di Desa Upatissa mempunyai sebuah tekad, dan pada hari yang sama pula istri dari seorang pertapa bernama Moggali, yang tinggal di Desa Kolita, juga mempunyai tekad yang sama. Selama tujuh generasi kedua keluarga ini mengikat tali persahabatan yang erat antara mereka. Kedua istri pertapa ini bertekad untuk melahirkan anak pada hari yang sama. Pada bulan ke sepuluh, kedua ibu itu melahirkan bayi laki-laki.

Pada saat memberi nama kepada bayi laki-laki yang baru lahir, mereka memberi nama Upatissa kepada bayi dari anak istri pertapa yang bernama Sari, sebab bayi itu adalah anak dari keluarga terkemuka di Desa Upatissa. Dan kepada bayi laki-laki yang lain, karena ia anak dari keluarga terkemuka di Desa Kolita, maka mereka memberi nama Kolita.

Kedua anak ini tumbuh dewasa bersama-sama, dan amat mahir di segala bidang, baik di bidang seni maupun di bidang ilmu pengetahuan lainnya. Apabila pemuda Upatissa pergi ke sungai ataupun ke taman untuk bermain-main, lima ratus tandu emas mengiringinya; lima ratus kereta ataupun ke taman untuk bermain-main, lima ratus tandu emas mengiringinya; lima ratus kereta kuda yang ditarik oleh kuda istimewa mengiringi pemuda Kolita. Kedua pemuda ini masingmasing mempunyai lima ratus pengiring.

Pada waktu itu, berlangsung festival atau perayaan yang selalu dilaksanakan setiap tahun di Rajagaha yang bernama Festival Atap Gunung. Tempat duduk untuk kedua pemuda itu sudah disediakan, dan keduanya duduk bersama-sama menonton pertunjukan festival yang sedang berlangsung. Kalau ada pertunjukan yang lucu, mereka tertawa bersama-sama; kalau ada pertunjukan yang menyedihkan, mereka menangis; kalau waktunya memberikan dana, merekapun berdana. Mereka menonton festival ini beberapa hari lamanya. Tetapi pada waktu mereka sudah tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana, mereka tidak lagi tertawa ketika mereka harus tertawa, mereka tidak menangis walaupun mereka dapat menangis, dan apabila peserta festival mencari dana, mereka tidak memberikannya.

Keduanya lalu berpikir :

“Mengapa kita kelihatan seperti ini? Sebelum seratus tahun berlalu, semua orang yang ada di sini akan pergi dan tidak ada lagi yang dapat dilihat. Karena itulah kita harus mencari Jalan Kebebasan.”

Setelah berpikir demikian, mereka lalu duduk merenung. Kemudian Kolita berkata kepada Upatissa :

“Sahabatku Upatissa, kamu kelihatannya tidak gembira dan senang dalam beberapa hari ini. Malah kamu kelihatan susah dan sedih. Apa yang kamu pikirkan?”

“Sahabatku Kolita, saya berpikir, saya tidak memperoleh kepuasan hanya dengan melihat festival ini. Semuanya tidak menyenangkan, karena itulah saya akan mencari Jalan Kebebasan untuk diri saya sendiri. Tetapi, mengapa kamu juga kelihatan bersedih?”

Kolita menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika Upatissa mengetahui bahwa pikiran Kolita sama dengan pikirannya, ia berkata :

“Pikiran kita berdua sama. Marilah kita mencari Jalan Kebebasan dan mengundurkan diri dari kehidupan duniawi bersama-sama. Di bawah bimbingan guru siapakah kita melepaskan kehidupan duniawi ini?”

Pada saat itu, seorang pertapa bernama Sanjaya memasuki Kota Rajagaha disertai dengan sejumlah besar murid-muridnya.

Upatissa dan Kolita berkata :

“Kita akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa di bawah bimbingan Pertapa Sanjaya.”

Kemudian mereka melepaskan ke lima ratus pengiringnya dan berkata kepada mereka :

“Ambillah tandu-tandu dan kereta-kereta ini, pergilah kalian.” Bersama dengan ke lima ratus pengiring lainnya, mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa di bawah bimbingan Pertapa Sanjaya. Sejak saat kedua pemuda meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa, maka Pertapa Sanjaya memetik keuntungan dan ketenaran dari kedua pemuda ini. Tetapi, beberapa hari kemudian, mereka telah mempelajari semua pelajaran dengan baik. Mereka lalu bertanya kepadanya :

“Guru, apakah ini semua pelajaran yang anda ketahui ataukah ada pelajaran lainnya?”

“Semuanya sudah aku ajarkan, kalian telah mengetahuinya.”

Upatissa dan Kolita berpikir :

“Kalau hanya seperti ini, tidaklah menguntungkan bagi kita untuk tetap menjadi murid guru ini lebih lama lagi. Jalan Kebebasan yang kita cari dengan meninggalkan kehidupan keduniawian, tidak akan kita dapatkan dari guru ini. Tetapi Tanah Apel Merah (India) adalah negara yang luas.

Marilah kita melakukan perjalanan melalui desa-desa, kota-kota dan kerajaan-kerajaan. Kita akan mencari guru yang dapat menerangkan Jalan Kebebasan yang kita cari.”

Mulai saat itu, apabila mereka mendengar ada pertapa atau bhikkhu yang dapat memberikan ajaran, mereka segera mencari dan menjadi muridnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh

Upatissa dan Kolita tidak ada seorang pun yang mampu menjawab, tetapi setiap pertanyaan yang ditanyakan orang kepada mereka pasti dapat mereka jawab dengan baik. Jadi mereka berjalan terus mengelilingi Tanah Apel Merah (India); mereka lalu mengulangi kembali perjalanan mereka dan akhirnya kembali pulang ke daerahnya lagi. Sebelum berpisah, Upatissa berkata kepada Kolita :

“Sahabatku Kolita, siapapun di antara kita berdua yang mendapatkan Kebebasan, harus segera memberitahukan kepada yang lain.” Setelah membuat perjanjian ini mereka lalu berpisah. Ketika mereka hidup dengan perjanjian itu,

Sang Guru Agung setelah berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, tiba di Rajagaha, menerima Vihara Veluvana dan Beliau berdiam di Veluvana. Sesudah itu Sang Guru Agung mengirim ke enam puluh Arahat untuk mengajarkan Tiga Permata Mulia, dengan berkata :

“Pergilah, O Para Bhikkhu, ajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya ini kepada semua mahluk untuk kefaedahan dan kebahagiaan mereka.” Salah satu dari ke lima Pertapa Pertama, Yang Mulia Assaji, balik kembali, masuk ke Rajagaha.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan membawa mangkuk dan jubahnya, Beliau memasuki Rajagaha untuk menerima dana makanan. Pada pagi yang sama itu pula, Pertapa Upatissa sedang makan pagi, meneruskan kehidupannya seperti pertapa, melihat Yang Mulia Assaji.

Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir, ‘Tidak pernah sebelumnya saya melihat seorang bhikkhu seperti bhikkhu ini. Ia seharusnya adalah salah satu dari para bhikkhu yang telah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, menjadi Arahat di dunia ini, atau yang telah memasuki Jalan menuju pencapaian Arahat. Sebaiknya saya mendekati dan bertanya kepadaNya, untuk kepentingan siapakah, O Bhikkhu, Anda meninggalkan kehidupan duniawi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda anut?’

Setelah berpikir demikian, ia lalu berpikir lagi, ‘Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya kepada bhikkhu ini, ia sedang mencari dana makanan dari rumah ke rumah, sebaiknya saya ikuti saja bhikkhu ini, seperti dilakukan orang yang mencari berkah’

Pertapa Upatissa lalu memperhatikan Yang Mulia Assaji, yang setelah menerima dana makanan, mencari tempat yang sejuk dan berpikir bahwa Beliau ingin duduk. Pertapa Upatissa lalu menebarkan karpet di tanah dan mempersilakan Beliau duduk. Setelah Yang Mulia Assaji menyelesaikan makannya, pertapa Upatissa menuangkan air minum dari kendi airnya. Sesudah ia melakukan tugas-tugas seorang murid kepada gurunya, ia menyampaikan salam hormat dengan penuh kebahagiaan dan berkata kepada Beliau :

“Tenang dan damai, O bhikkhu, kesadaran Anda penuh, kulit Anda terang dan bersih. Untuk kepentingan siapakah, O bhikkhu, Anda meninggalkan kehidupan duniawi? Siapakah guru Anda? Ajaran apakah yang Anda anut?”

Yang Mulia Assaji berpikir, ‘Pertapa pengelana ini mempunyai kepercayaan berlawanan dengan apa yang saya pelajari; karena itulah saya akan menunjukkan kepadanya inti ajaran Dhamma Yang Mulia ini.’

Tetapi pertama-tama Beliau menerangkan bahwa Ia sendiri baru saja menjadi seorang bhikkhu, lalu berkata :

“Saudaraku, Saya baru saja mulai dan belum lama menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu, dan baru saja mempelajari Dhamma Yang Mulia (Ajaran dan Peraturan) ini; saya tidak mampu untuk menjelaskannya panjang lebar.”

Upatissa menjawab :

“Saya Upatissa, katakanlah banyak ataupun sedikit sesuai dengan kemampuan Anda, O bhikkhu;

saya akan berusaha untuk menyelami artinya dengan seratus ataupun seribu macam cara.”

Kemudian ia berkata lagi :

“Katakanlah sedikit atau banyak;

Katakanlah hanya isi pokoknya saja;

Saya hanya butuh isi pokoknya saja;

Mengapa mengucapkan dengan banyak kata-kata?”

Yang Mulia Assaji lalu menjawab dengan baris pertama dari syair ini :

“Segala sesuatu dihasilkan dari sebuah sebab;

Sebab ini telah dikatakan oleh Sang Tathagata.”

Setelah Pertapa Upatissa mendengar baris pertama ini, ia langsung mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana), sempurna di dalam seribu jalan. Segera setelah ia mencapai Tingkat Kesucian Pertama, Yang Mulia Assaji lalu mengucapkan baris yang kedua :

“Dan juga bagaimana menghentikannya;

Hal ini juga telah dikatakan oleh Sang Tathagata.”

Sesudah Pertapa Upatissa mencapai Tingkat Kesucian Pertama, Tingkat Kesucian Kedua (Sakadagami) tidak muncul. Karena itulah ia berpikir, ‘Pasti ada alasan untuk hal ini,’ ia lalu berkata kepada Yang Mulia Assaji :

“Jangan Anda ajarkan Dhamma ini lebih jauh lagi, ini sudah cukup. Di manakah Sang Guru Agung berdiam?”

“Di Veluvana, saudaraku.”

“Baiklah, Yang Mulia, silakah Anda meneruskan perjalanan Anda. Saya mempunyai seorang sahabat, saya dan dia sudah membuat perjanjian apabila salah satu di antara kita mencapai Kebebasan harus memberitahukan kepada yang lain. Saya harus menepati janji ini. Saya akan membawa sahabat saya ini dan pergi menemui Sang Buddha, mengikuti jalan yang sama seperti Yang Mulia ambil.”

Setelah berkata demikian, Upatissa menjatuhkan dirinya dengan berlutut di depan kaki Yang Mulia Assaji, memutarinya tiga kali sesuai arah jarum jam dan kemudian meninggalkan Yang Mulia Assaji lalu pergi mencari sahabatnya, Pertapa Kolita.

Pertapa Kolita melihat sahabatnya datang menghampirinya, berpikir :

“Hari ini paras muka sahabatku ini bersinar terang tidak seperti hari-hari yang lalu, pasti ia telah memperoleh Kebebasan.”

Ia lalu bertanya kepada Pertapa Upatissa, apakah ia telah memperoleh Kebebasan. Upatissa menjawab :

“Ya, saudaraku, saya telah memperoleh Kebebasan.”

Setelah berkata demikian ia mengulangi syair yang dikatakan oleh Yang Mulia Assaji. Pada akhir syair itu Kolita mencapai tingkat kesucian. Kemudian Kolita berkata :

“Sahabatku, di manakah Sang Guru Agung berdiam?”

“Di Veluvana, sahabatku. Dan saya diberitahu oleh guru kita, Yang Mulia Assaji.”

“Baiklah, sahabatku, marilah kita pergi menemui Sang Guru Agung.”

Pada saat itu, terlihat sifat yang berbeda dari Pertapa Upatissa yaitu ia selalu mengingat gurunya dengan penuh rasa hormat. Karena itulah ia berkata kepada sahabatnya itu :

“Sahabatku, marilah kita memberitahukan hal ini kepada guru kita, Pertapa Sanjaya, bahwa kita telah mencapai Kebebasan. Semoga ia tersadar dan mengerti. Tetapi apabila ia tidak dapat mengerti, ia akan percaya bahwa apa yang kita katakan adalah benar; dan bila dengan segera ia mendengar Ajaran Sang Buddha, ia akan memperoleh Jalan dan Tingkat Kesucian.”

Kemudian kedua pertapa ini pergi mengunjungi Pertapa Sanjaya. Ketika Pertapa Sanjaya melihat kedua muridnya, ia bertanya :

“Saudara-saudaraku, sudahkah kamu berhasil menemukan seseorang yang dapat menunjukkan Jalan Kebebasan?”

“Ya guru, kami sudah menemukannya. Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul, demikian juga Sangha telah muncul pula. Sedangkan anda sendiri, guruku, anda berjalan di jalan yang tidak nyata dengan sia-sia. Marilah, guru, ikutlah bersama kami untuk menemui Sang Guru Agung.”

“Kamu boleh pergi; saya tidak dapat pergi.”

“Apa alasan guru?”

“Pada masa sebelum ini saya telah menjadi seorang guru dengan murid yang begitu banyak. Tidak pernah terlintas dalam pemikiran saya untuk kembali menjadi seorang murid. Saya tidak dapat hidup sebagai seorang murid.”

“Guru, jangan berpikiran seperti itu.

“”Tidak apa-apa saudara, pergilah, saya tidak dapat pergi.”

“Guru, pada saat Sang Buddha muncul di dunia ini, rakyat jelata akan membawa minyak wangi, bunga rampai dan sebagainya di tangan mereka sendiri, kemudian pergi dan mempersembahkannya sendiri kepada Sang Guru Agung. Marilah kita pergi ke sana. Apa yang ingin anda lakukan?”

“Saudaraku, lebih banyak yang mana di dunia, orang bodoh atau orang bijaksana?”

“Guru, orang bodoh lebih banyak, dan orang bijaksana amat sedikit.”

“Kalau demikian, biarlah orang bijaksana pergi menemui Sang Buddha Gotama dan biarkanlah orang bodoh datang kepadaku yang bodoh ini. Kamu dapat pergi, saya tidak akan pergi.”

“Kamu akan menjadi orang terkenal, guru!” kata kedua pertapa muda itu, kemudian mereka pergi.

Setelah mereka pergi, murid-murid Pertapa Sanjaya terpecah dan dengan seketika hutan itu menjadi sepi. Ketika Pertapa Sanjaya melihat hutan itu sepi, ia lalu muntah darah. Lima ratus pertapa menyertai kedua pertapa itu memulai perjalanan menemui Sang Buddha. Dua ratus lima puluh pertapa yang masih setia kepada Pertapa Sanjaya balik kembali; dan dua ratus lima puluh pertapa lainnya diterima sebagai murid kedua pertapa itu, dan membawa mereka menuju Veluvana.

Ketika itu Sang Buddha sedang duduk di tengah-tengah murid-muridNya membabarkan Dhamma, Beliau melihat dua orang pertapa mendatangi dari kejauhan. Beliau lalu berkata kepada murid-muridNya :

“O para bhikkhu, ada dua sahabat yang baru datang, Kolita dan Upatissa. Mereka akan menjadi sepasang pengikutKu, menjadi seorang pemimpin dan seorang yang bijaksana.”

Kedua pertapa itu lalu bernamaskara kepada Sang Guru Agung, dan duduk dengan penuh hormat pada satu sisi, lalu berkata kepada Sang Buddha :

“Yang Mulia, kami ingin sekali diterima menjadi Anggota Sangha di bawah perlindungan Yang Maha Sempurna; kami akan melaksanakan segala kewajiban kami.”

Sang Guru Agung menjawab :

“Datanglah kemari, o bhikkhu! Dhamma telah diajarkan dengan baik. Jalanilah kehidupan suci, maka pada akhirnya semua penderitaan dapat disingkirkan.”

Dengan segera mereka memiliki mangkuk dan jubah yang diciptakan oleh kemampuan spiritual yang tinggi, dan menjadikan tempat itu sebagai tempat para bhikkhu berdiam ratusan tahun lamanya.

Bertambahnya jumlah murid-murid Sang Buddha, menyebabkan Sang Guru Agung meningkatkan pembabaran Dhamma kepada mereka. Dengan perkecualian kedua Murid Utama ini, semua murid Sang Buddha telah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, menjadi Arahat.

Kedua Murid Utama ini tidak dapat menyempurnakan meditasi yang membawa kepada Tingkat Kesucian Tertinggi. Apa alasannya? Hal ini disebabkan karena luasnya kesempurnaan pengetahuan kedua Murid Utama ini.

Saat itu, Yang Mulia Moggallana (Kolita) yang berdiam di dekat sebuah desa Kallavala di Kerajaan Magadha menjadi segan dan malas pada hari ketujuh sesudah beliau menerima pentahbisan menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Guru Agung membangunkan semangatnya,

sehingga beliau membuang keseganan dan kemalasannya, dan mulai mempraktekkan rumus-rumus latihan meditasi tentang elemen (unsur) yang diberikan Sang Tathagata kepadanya.

Kemudian beliau dapat menyempurnakan meditasinya, yang membawanya kepada tiga tingkat kesucian yang lebih tinggi dan mencapai Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama.

Demikian pula Yang Mulia Sariputta (Upatissa), beliau menghabiskan waktunya selama empat belas hari setelah menerima pentahbisan menjadi bhikkhu oleh Sang Buddha bertempat tinggal di Gua Sukarakhata dekat dengan Kota Rajagaha. Mendengar keterangan tentang Vedanapariggaha Sutta dari anak laki-laki saudara perempuan beliau, yaitu Pertapa Dighanakha, beliau kemudian mempergunakan sutta ini dalam mengembangkan latihan meditasinya, seperti seorang laki-laki makan nasi yang dimasak oleh laki-laki lainnya. Akhirnya Beliau mencapai tujuan Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama.

(Meskipun Yang Mulia Sariputta adalah seorang yang mempunyai kepandaian yang amat tinggi, mengapa Beliau membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai Tingkat Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama? Karena sebagai pemula Beliau amat teliti. Kita harus mengerti sebabnya, diumpamakan seperti seorang raja yang ingin melaksanakan perjalanan, ia memerintahkan pengawalnya untuk mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, seperti ahli penunggang gajah dan sebagainya. Sebaliknya dengan orang yang miskin, yang tidak punya apa-apa, ke manapun ia ingin pergi, dengan segera ia pergi tanpa ada kesibukan.)

Pada hari ketika Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia Moggallana ditahbiskan menjadi Anggota Sangha, Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya di Veluvana dan menunjuk kedua bhikkhu baru ini sebagai Murid Utama, kemudian membabarkan Patimokkha.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 1 Comment »

Di Dalam puisi dan cerita-cerita rakyat di beberapa negara, banyak diceritakan masalah tentang hubungan cinta dan tidak cinta antara orangtua dengan anak-anaknya. Ada beberapa negara di dunia ini tidak mempunyai cerita-cerita rakyat yang berkenaan dengan penggambaran hubungan cinta kasih antara orangtua dengan anak-anaknya. Dan mereka hanya menekankan tentang cinta kasih kepada semua orang, yang tentu saja termasuk orangtua mereka juga. Banyak sekali orang yang menangis ketika mendengar dan membaca puisi dan cerita-cerita yang menggambarkan tentang hubungan cinta kasih antara orangtua dengan anak. Ada satu cerita berasal dari sebuah puisi yang amat terkenal di Srilanka. Puisi yang asli terdiri dari empat bait, yang dapat mengubah seseorang menjadi penuh belas kasih. Ceritanya sebagai berikut :

Pada suatu ketika, hiduplah seorang ibu yang membesarkan anak laki-lakinya. Dengan melalui berbagai penderitaan akhirnya ibu tua itu berhasil menghantarkan anak laki-lakinya mencapai kehidupan yang sukses. Anak laki-laki itu lalu menikah dan mempunyai rumah sendiri. Setelah ia berkeluarga dan mempunyai kehidupan yang cukup baik, tetapi ia tidak pernah menengok kepada kedua orangtuanya yang sudah tua itu. Ayah dan ibu tua itu sudah lama amat menderita, mereka tidak mempunyai makanan dan pakaian yang cukup.

Pada suatu hari karena mereka sudah amat kelaparan, tidak mempunyai lagi makanan yang dapat dimakan, ibu tua itu merasa ia dapat meminta pertolongan dari anaknya. Dengan badan yang sudah membungkuk, ia berjalan perlahan-lahan menuju ke rumah anaknya untuk meminta makanan. Anak laki-laki itu yang melihat ibunya datang segera bersembunyi di dalam rumah. Ia diam saja di dalam rumah dan tidak mau keluar menemui ibunya, ia lalu menyuruh isterinya keluar untuk menemui ibunya.

Di depan pintu rumah, ibu tua itu berkata kepada menantu perempuannya, bahwa ia amat lapar dan membutuhkan makanan. Menantunya tanpa berkata sepatah katapun lalu masuk ke dalam rumah dan membawa sebuah keranjang, lalu diberikannya kepada mertuanya, yang berisi dua liter gandum.

Tetapi ibu mertua yang sedang kelaparan itu, tentu saja tidak dapat memakan gandum yang belum dimasak itu. Ia harus memasaknya terlebih dahulu, dan membutuhkan waktu yang cukup lama sampai gandum itu matang dan dapat dimakan. Sedangkan ia sudah amat lapar, dan membutuhkan makanan yang sudah matang supaya dapat segera dimakan untuk menghilangkan rasa laparnya.

Ibu tua itu menerima keranjang yang berisi gandum itu dengan perasaan sedih, ia tidak bahagia. Ia menghadapi kenyataan yang pahit, ia hanya menerima dua liter gandum, pemberian dari anak laki-lakinya yang amat sangat dikasihinya. Anak laki-lakinya itu tidak mau keluar menemuinya ketika ia datang, hatinya amat kecewa dan sedih sekali.

Diceritakan, ibu tua itu lalu mengucapkan syair ketika ia menerima gandum itu,

“Saya datang ke depan pintu rumah anakku

karena saya amat lapar dan hampir mati

Tetapi saya hanya memperoleh dua liter gandum

Saya ragu-ragu,

apakah saya harus menerimanya atau tidak

Oh anakku sayang

apakah saya pernah menakar air susuku ketika menyusuimu?”

Cerita selanjutnya : ternyata menantunya itu amat marah mendengar kata-katanya. Ia merasa kata-kata itu ditujukan untuk dirinya. Dengan marah ia lalu berkata :

“Hai nenek tua, ibuku sendiri yang telah membesarkanku, dan tidak akan membiarkan aku menderita sedikitpun, tidak ribut ketika ia datang, dan hanya kami berikan seliter gandum. Kami kan sudah memberikanmu dua liter gandum, tetapi kamu malah berkata-kata seperti itu.

Sudahlah nenek tua, pergilah dari tempat ini sekarang juga!”

Anak laki-laki itu tidak berusaha meredakan pertentangan antara ibu dan isterinya, ia hanya diam saja.

Tetapi sejak saat itu setelah mendengar puisi yang diucapkan si ibu tua, orang-orang menjadi merasa ngeri dan takut apabila sudah tua nanti, akan menghadapi keadaan seperti yang dialami oleh ibu tua itu.

Cerita ini menekankan tentang kewajiban seorang anak untuk merawat ayah dan ibunya yang sudah tua, seperti ayah dan ibu merawat anaknya dengan penuh kasih yang tanpa batas ketika mereka masih kecil. Jadi seorang anak harus berbakti dengan merawat orangtua mereka, dengan penuh hormat dan dengan cinta kasih yang tulus ikhlas.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 1 Comment »

Tersebutlah sebuah kisah yang amat terkenal di Asia, yang menceritakan tentang kekejaman seorang lelaki terhadap ayah kandungnya sendiri.

Pada suatu ketika tinggallah sepasang suami isteri muda yang mempunyai seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun. Ayah si suami itu tinggal bersama mereka, ia sudah amat tua, sangat lemah serta sulit untuk berjalan sendiri. Isteri muda itu amat tidak menyukai kehadiran ayah mertuanya di antara mereka. Tetapi suaminya, amat menyayangi ayahnya dan selalu menenangkan isterinya untuk merawat orangtuanya dengan baik.

Pada suatu malam, si isteri itu menunggu sampai anak laki-lakinya tidur nyenyak, ia lalu meminta kepada suaminya untuk menyingkirkan ayah mertuanya itu dari rumahnya, apabila suaminya ingin tetap hidup bersamanya.

Suaminya amat sedih dan merasa tidak berdaya menghadapi permintaan isterinya itu.

Akhirnya ia menyetujui permintaan isterinya, supaya kehidupan rumah tangganya tidak terganggu lagi oleh ayahnya yang sudah tua renta itu.

Setelah yakin anaknya sudah tidur nyenyak, mereka lalu merencanakan bagaimana caranya untuk membuang ayahnya itu. Si isteri berkata : “Besok pagi-pagi sekali, kamu harus katakan kepada ayahmu, bahwa kamu akan membawanya ke tempat ziarah. Taruh saja dia di dalam keranjang besar dan bawa dia ke dalam hutan lebat. Tinggalkan saja di sana, biar dimakan binatang buas, setelah itu cepat-cepat pulang ke rumah.”

Keesokkan paginya, anak laki-laki itu bangun pagi-pagi sekali. Seperti yang telah direncanakan orangtuanya, si ayah membawa kakeknya yang dimasukkan ke dalam keranjang besar dan pergi keluar. Anak itu lalu bertanya :

“Ayah, mau dibawa kemana kakekku ini?”

“Anakku, saya akan membawanya pergi berziarah.”

“Baiklah ayah, tetapi jangan lupa ya membawa pulang kembali keranjang besar itu, karena kalau nanti ayah sudah setua kakek, saya akan membawa ayah berziarah juga.”

Kata-kata anak laki-laki itu menyadarkan mereka, pasangan suami isteri muda itu lalu berubah pikiran. Mereka akhirnya merawat orangtua itu dengan baik.

Cerita ini menyinggung dengan tajam dan tepat nilai-nilai moral pada masa sekarang ini. Di India, pada masa yang lampau, banyak cerita-cerita seperti ini. Dimana perhatian utama adalah ketidak-puasan seorang anak terhadap orangtuanya dan hal ini diperbaiki oleh cucunya. Cerita yang lain tentang hal seperti ini sebagai berikut.

Seorang ayah yang masih muda merencanakan membuang ayahnya yang sudah tua, si ayah dimasukkan ke dalam sebuah kereta. Ia lalu membawanya ke kuburan. Cucunya juga ikut serta.

Ketika cucunya melihat ayahnya sedang menggali lubang kuburan untuk mengubur kakeknya, anak kecil itu berkata kepada ayahnya :

” Ayah, tolong gali sebuah lubang lagi untuk kuburanmu sendiri. Nanti, kalau ayah sudah tua saya tinggal mengubur ayah saja di situ, jadi saya tidak usah repot-repot menggali kuburan untukmu.”

Tentu saja hal ini menakutkan si ayah muda itu.

Pesan moral yang terkandung dalam cerita ini adalah apa yang kita lakukan terhadap ayah, akan terjadi pula pada diri kita sendiri, yang akan dilakukan oleh anak kita.

Ada cerita lain lagi, seorang kakek diberikan makanan dengan sebuah piring yang amat kotor, ditaruh di atas tanah. Piring itu begitu kotornya sehingga tak seorang pun yang sanggup untuk memakan makanan dari piring tersebut. Ketika anak laki-laki tua tersebut melihat bahwa tak ada gunanya lagi untuk memberi makan kepada ayahnya, ia ingin membuangnya. Anaknya yang masih muda lalu berkata :

“Ayah, piring tua itu jangan dibuang. Saya ingin menyimpannya.”

Ayahnya bertanya : “Untuk apa?”

Anak muda itu berkata :

“Untuk apa….? Tentu saja untuk memberikan makanan ayah di atas piring itu kalau ayah sudah setua kakek saya ini.”

Inilah pelajaran untuk seorang ayah muda untuk lebih mengasihi dan merawat orang tuanyayang sudah tua.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Pada masa lampau, tinggallah seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki. Si ibu amat sangat menyayangi anak satu-satunya itu. Anak itu bebas pergi ke mana saja dan bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Ibunya tidak pernah melarangnya, malah memuji semua perbuatannya, baik ataupun buruk. Anak itu mempunyai kebiasaan yang buruk, ia selalu keluar rumah setiap malam.

Beberapa tahun kemudian, anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda, ia tidak mempunyai keahlian apapun untuk mencari pekerjaan, sehingga ia tidak mempunyai penghasilan untuk membiayai kehidupannya. Karena itulah ia mulai melakukan pencurian kecil-kecilan. Pada mulanya ia amat senang memperoleh hasil curian itu. Dan ketika ia pulang membawa hasil curiannya, ibunya amat senang, memuji-muji perbuatannya itu. Ia malah bangga terhadap anaknya dan mendorongnya untuk terus melakukan pekerjaannya sebagai pencuri.

Akhirnya ia menjadi pencuri ulung yang amat ditakuti oleh penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Polisi segera dikerahkan untuk menangkapnya. Tetapi ia tidak takut, ia tetap saja melakukan pencurian. Tidak berapa lama kemudian ia tertangkap dan dibawa ke hadapan raja.

Sesudah diperiksa dan diadili, raja manyatakan ia bersalah karena telah merugikan banyak orang dan ia dihukum mati.

Sebelum hukuman mati itu dilaksanakan, ia memohon kepada pengawal raja bahwa ia ingin bertemu dengan ibunya untuk yang terakhir kalinya. Karena ini permintaan yang terakhir, permohonan itu dikabulkan. Ibunya segera dibawa untuk menemuinya, si pencuri itu lalu memeluk ibunya, dan dengan segera ia menggigit telinga ibunya.

Pengawal melaporkan kejadian itu kepada raja, dan si pencuri lalu dibawa menghadap raja.

Raja bertanya mengapa ia menggigit telinga ibunya. Si pencuri menjelaskan : “Yang Mulia Raja, saya adalah anak satu-satunya. Ibu saya seharusnya mengajarkan kepada saya untuk menjadi orang yang baik dan bersih. Tetapi sebaliknya ia malah mendorong saya untuk menjalani kehidupan yang tidak bersih. Ia tidak pernah melarang saya berbuat buruk. Apabila ia mengingatkan saya akibat dari perbuatan buruk yang saya lakukan, saya akan menjadi rakyat yang baik, mengerti dan patuh terhadap hukum negara. Tetapi ia tidak pernah melakukan hal itu.

Karena itulah saya akan mati dengan cara seperti ini. Saya pikir inilah saat yang terakhir kalinya, saya harus mengajarkan kepadanya sebuah pelajaran, supaya ibu-ibu yang lain akan belajar dari kejadian ini, bahwa mereka harus membimbing anak-anaknya menuju jalan yang bersih. Inilah penjelasan saya Yang Mulia, mengapa saya menggigit telinga ibu saya.”

Tidak diceritakan apa yang dikatakan oleh raja atas penjelasan pencuri itu, tetapi pesan yang terkandung dari cerita ini adalah peringatan yang amat jelas bagi para orangtua untuk mendidik anak-anaknya dengan baik.

Para orangtua harus menjaga tingkah laku anaknya, apalagi ketika mereka masih kecil, bila mereka melakukan perbuatan yang kurang baik, orangtuanya harus segera mengingatkan akibat perbuatan yang kurang baik itu, dan harus memperbaikinya.

Para orangtua juga harus memperingatkan untuk tidak mengulangi perbuatan buruk yang dilakukan anak-anaknya, karena kalau perbuatan buruk yang dilakukan semasa kanak-kanak tidak diperingatkan, maka perbuatan buruk itu akan berkembang menjadi perbuatan yang jahat apabila mereka telah menjadi dewasa. Semua perbuatan jahat itu akan membawa kejatuhan bagi orang itu dan juga akan menjatuhkan martabat orangtuanya.

Di dunia yang modern ini, dengan komunikasi yang begitu baik dan canggih, justru hubungan orangtua dan anak menjadi renggang, tidak terjalin dengan baik, di kebanyakan keluarga pada saat sekarang ini. Sebagai akibatnya orangtua tidak mengetahui kalau anakanaknya menjadi tersesat.

Karena itu sangatlah penting bagi orangtua untuk menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan baik dengan anak-anaknya. Dengan komunikasi yang baik akan ditemukan suatu cara terbaik untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul, sehingga tidak berkembang menjadi suatu krisis yang serius.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments 2 Comments »

Pada jaman dahulu, ada seorang pangeran yang tabiatnya amat buruk, ia amat keras kepala, juga kejam kepada siapapun. Setiap orang amat takut kepadanya. Rakyat, pegawai-pegawai istana, para menteri bahkan raja di kerajaan itu sekalipun takut kepadanya. Raja amat gelisah memikirkan hal itu.

Raja lalu mengundang seorang pertapa yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Ia lalu menjelaskan tingkah laku Pangeran kecil yang buruk itu dan memohon bantuan untuk menyadarkannya. Pertapa itu lalu berkata kepada raja : “Yang Mulia, janganlah khawatir, saya akan memperbaiki sifatnya yang buruk itu.”

Pertapa bijaksana itu kemudian mengajak Pangeran kecil masuk ke sebuah taman. Sambil berjalan-jalan di sekitar taman, pertapa itu kemudian menunjuk ke sebuah pohon yang masih kecil. Pohon itu bernama pohon Neem.

Pertapa itu lalu meminta Pangeran untuk memetik selembar daun pohon tersebut dan mencicipi rasanya. Pangeran lalu mencicipi daun pohon Neem itu ke dalam mulutnya, ia merasakan daun pohon itu amat pahit, ia segera meludahkannya.

“kalau daunnya saja sudah begitu pahit ketika pohon ini masih kecil, bagaimana pahit daunnya apabila pohon ini sudah benar-benar besar.” kata Pangeran kecil itu.

“Saya tidak akan membiarkan pohon ini tumbuh menjadi besar.” katanya kepada pertapa bijaksana itu.

Dengan amat marah Pangeran lalu mencabut pohon itu lalu mematah-matahkannya, ia tetap meludah karena pahitnya daun pohon itu masih terasa di lidahnya.

Pertapa bijaksana melihat tingkah lakunya itu tersenyum dan bertanya :

“Apakah daun pohon itu amat pahit, anakku?”

“Ya, pahit sekali,” jawab Pangeran.

“Mengapa kamu mencabut dan mematah-matahkan batang pohon yang kecil itu?” tanya pertapa itu lagi.

“Kalau daun saja sudah begitu pahit ketika pohon ini masih kecil, bagaimana pahitnya apabila pohon ini sudah tumbuh menjadi besar? Saya mencabutnya supaya ia tidak tumbuh menjadi pohon yang besar,” jawab Pangeran.

Pertapa bijaksana itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata :

“Sekarang Pangeran, kamu juga seperti pohon kecil itu. Sebagai seorang Pangeran yang masih kecil, kamu sudah begitu kejam. Apabila nanti kamu menjadi raja menggantikan ayahmu, dapatkah kamu bayangkan bagaimana kejamnya kamu ini? Orang-orang akan menghancurkanmu kalau kamu sudah kejam sejak kamu masih menjadi Pangeran kecil. Mereka akan mengatakan seperti yang kamu katakan tentang pohon kecil itu. Kalau ia sudah begitu kejam ketika ia masih kecil, bagaimana kejamnya ia apabila ia sudah menjadi seorang raja. Mengertikah anakku?”

Pangeran itu segera menyadari apa yang dimaksud oleh pertapa itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih kepada pertapa mulia itu atas nasehatnya. Ia berjanji untuk mengubah tingkah lakunya, untuk menjadi orang yang baik dan bijaksana.

Setelah Pangeran dewasa, menggantikan ayahnya yang sudah tua, menjadi raja, ia menjadi raja yang adil dan bijaksana yang dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Pesan moral dari cerita ini adalah kalau anak-anak mau mendengar nasehat-nasehat yang baik dari orangtuanya dan orang yang lebih tua, dan mau memperbaiki tingkah lakunya yang keliru, maka mereka akan mencapai hidup yang sukses dan bahagia di masa yang akan datang.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Pada suatu waktu, seorang ibu muda membawa anaknya yang masih bayi ke tempat kolam pemandian umum. Setibanya di sana, ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan membaringkannya di tepi kolam itu. Si ibu muda itu juga ingin mandi. Ia lalu turun ke kolam, anaknya berbaring sendirian di tepi kolam.

Seorang wanita melewati jalan di tepi kolam, ketika ia melihat bayi yang sedang terbaring sendirian, ia tertarik dan berhenti, memperhatikan bayi mungil itu dengan seksama.

Melihat ibunya yang sedang mandi, wanita itu berkata : “Saudariku, saya senang melihat bayimu ini. Bolehkah saya memegangnya sebentar saja?”

Si ibu muda tidak melarangnya.

Kemudian wanita itu bertanya lagi :

“Bolehkah saya menggendong bayi ini?”

Ibu muda itu menjawab : “Boleh saja, silahkan.”

Wanita itu menggendong bayi itu sebentar, lalu dengan segera ia membawa anak itu pergi.

Si ibu muda yang melihat anaknya dibawa pergi oleh wanita itu, cepat-cepat keluar dari kolam dan mengejar wanita yang membawa bayinya itu. Ibu muda itu lalu menarik tangan wanita tersebut dan meminta bayinya, wanita itu tidak mau memberikannya, bahkan ia mengakui bahwa bayi itu anaknya. Sebaliknya, ia malahan menuduh ibu muda itu mau mencuri anaknya.

Kedua wanita itu bertengkar, memperebutkan bayi mungil itu. Akhirnya mereka sampai di Gedung Pertemuan, dimana Pertapa Mahaushada berada, beliau adalah pertapa yang adil dan bijaksana. Kedua wanita itu lalu menghadap kepada pertapa tersebut, dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Sesudah mendengar cerita keduanya, pertapa itu bertanya :

“Apakah kalian berdua akan dapat menerima keputusan saya?”

Mereka menjawab : “Ya, tuanku.”

Pertapa itu lalu membuat sebuah garis lurus di tengah ruangan. Ia lalu membaringkan bayi itu

di tengah-tengah garis tersebut. Ia lalu meminta kedua wanita itu berdiri, yang satu di kepala si bayi dan lainnya di kaki si bayi. Kemudian ia meminta kedua wanita itu mengangkat bayi tersebut, wanita itu memegang kaki si bayi, dan ibu muda itu diminta untuk memegang lengan bayinya.

Setelah kedua-duanya sudah memegang lengan dan kaki bayi tersebut, pertapa meminta mereka untuk saling menarik lengan dan kaki bayi tersebut. Dengan segera bayi itu menangis kesakitan. Ibu muda itu segera berhenti menarik dan melepaskan bayinya, ia menangis tersedusedu.

Pertapa Mahaushada berbalik ke kerumunan orang yang ada di ruangan gedung itu dan bertanya : “Apakah kasih seorang ibu adalah kasih yang penuh dengan kelembutan terhadap anaknya ataukah ada kasih yang lain?”

Mereka menjawab :

“Tentu saja, kasih seorang ibu, adalah kasih yang penuh dengan kelembutan terhadap anaknya.”

Pertapa itu bertanya lagi :

“Kemudian, siapakah ibu yang sejati; wanita yang melepaskannya ataukah yang menariknya dengan kencang?”

Orang-orang itu menjawab :

“Ibu sejati adalah wanita yang melepaskan anaknya, karena ia tidak ingin menyakitinya.”

Segera saja ibu yang sejati itu mengambil anaknya dari wanita itu, lalu menciuminya dengan penuh kasih. Setelah berterima kasih kepada pertapa yang bijaksana dan kepada orang-orang yang ada di ruangan itu, kemudian ia pergi. Wanita yang mengambil bayi itu merasa malu dan menyadari perbuatannya yang buruk. Ia amat menyesal.

Cerita ini menjelaskan tentang kebenaran yang abadi, bahwa seorang ibu tidak akan pernah menginginkan anaknya menderita sedikitpun.

Di sini, ibu muda itu tidak ingin melukai anaknya meskipun ia menghadapi kenyataan, bahwa anaknya akan dapat diambil oleh wanita lain.

Kasih seorang ibu adalah kasih sayang yang suci dan murni, ia selalu menginginkan anaknya berbahagia.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

onqwkmhrl3

Comments No Comments »

Kisah ini terdapat di dalam salah satu bagian dari Kitab Suci Tripitaka. Dikisahkan tentang salah satu dari dua murid utama Sang Buddha Gotama, bernama Yang Mulia Moggallana. Meskipun Beliau sudah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, Arahat, dan mempunyai kemampuan fisik dan batin yang amat tinggi, tetapi Beliau meninggal dengan cara yang amat menyedihkan, yaitu dikepung oleh para penjahat dan dipukuli sampai meninggal dunia.

Sang Buddha lalu menjelaskan perbuatan yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Moggallana pada salah satu kehidupannya yang lampau, sehingga ia harus menerima cara kematiannya yang amat menyedihkan itu.

Pada masa lampau, terdapatlah seorang pemuda yang amat baik budi. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri, seperti menanak nasi, membersihkan rumah serta merawat kedua orangtua yang matanya buta itu dengan penuh kasih sayang.

Kedua orangtuanya mengkhawatirkan anaknya yang bekerja seorang diri, mereka lalu berkata kepada anaknya :

“Anakku, kamu pasti terlalu capai mengerjakan semua pekerjaan seorang diri, baik di dalam rumah maupun mencari kayu bakar di hutan. Kalau kamu setuju, kami akan melamarkan seorang anak gadis untuk menjadi isterimu, supaya dapat membantu meringankan pekerjaanmu.”

Anak itu lalu menjawab :

“Ibu, saya tidak memerlukan bantuan apa-apa, saya sanggup mengerjakan semuanya. Selama ayah dan ibu masih hidup, sayalah yang akan menjaga dan merawatmu dengan tanganku sendiri.”

Berkali-kali ia menolak usul kedua orangtuanya untuk mengambil seorang isteri. Tetapi ayah dan ibunya terus mendesak, sehingga akhirnya ia diam saja dan menerima seorang gadis muda untuk menjadi isterinya.

Hanya beberapa hari saja isterinya mau merawat kedua orangtuanya. Setelah itu ia berkata kepada suaminya, bahwa ia tidak sanggup lagi untuk merawat kedua orangtua itu dan tidak ingin hidup bersama mereka lagi, ia tidak senang dengan kehidupan seperti itu.

Dengan menunjukkan ketidak-senangannya, ia selalu berkata :

“Saya tidak sanggup untuk hidup lebih lama lagi bersama ayah dan ibumu yang buta itu.”

Suaminya tidak menghiraukan ocehan isterinya, sampai pada suatu hari isteri muda itu mengambil tanah merah, kulit kayu dan butir-butir gandum, ia menebarkannya dimana-mana, di sekitar rumah itu. Ketika suaminya pulang dan bertanya, apa yang telah terjadi, isterinya menjawab :

“Suamiku, semua ini adalah perbuatan orangtuamu yang buta itu, mereka mengotori seluruh rumah ini, saya tidak sanggup lagi untuk hidup bersama mereka.”

Ia katakan hal itu berulang-ulang, terus-menerus. Si Suami yang semula ragu-ragu, akhirnya menjadi percaya dengan perkataan isterinya, dan sebagai seseorang yang belum mencapai tingkat kesempurnaan, ia menjadi kesal dengan kedua orangtuanya. “Isteriku, jangan khawatir,” kata suaminya, “Saya akan menemukan jalan yang paling tepat untuk membuang mereka.”

Kemudian ia memberi makan kepada kedua orangtuanya sambil berkata :

“Ayah dan ibu, ada salah satu keluarga kita yang sangat mengharapkan kedatanganmu, marilah kita datang mengunjungi mereka.”

Ia lalu membantu kedua orangtuanya yang buta masuk ke dalam kereta, ia juga ikut pergi bersama mereka. Ketika mereka berada di tengah hutan yang sangat lebat, ia berkata kepada ayahnya :

“Ayah peganglah tali kekang ini, lembu-lembu ini dapat berjalan ke arah yang kita tuju dengan baik, di sini banyak para perampok bersembunyi, menunggu orang-orang yang lewat. Saya turun dulu melihat keadaan di sekitar tempat ini.”

Ia lalu memberikan tali kekang itu kepada ayahnya, dan segera turun dari kereta, diarahkannya kereta itu masuk ke dalam hutan yang amat lebat.

Anak muda itu mulai membuat keributan, teriakan-teriakan, amat berisik seolah-olah ada segerombolan perampok yang akan menyerang. Ketika kedua orangtua mendengar suara yang amat berisik itu, mereka ketakutan dan berpikir :

“Wah, ada segerombolan perampok yang akan menyerang kita.” Mereka lalu berkata dengan berteriak : “Anakku, kami sudah tua, cepatlah pergi, selamatkanlah dirimu, jangan perhatikan kami lagi. Pergilah, cepat pergi….!”

Ketika kedua orangtua itu berteriak menyuruhnya pergi, anak laki-laki itu juga berteriakteriak seperti teriakan perampok, ia lalu memukuli kedua orangtuanya itu sampai mati, dan membuang mayatnya ke dalam hutan lebat. Setelah melakukan perbuatan yang kejam itu, ia pulang ke rumah. Ia amat menyesaliperbuatannya.

Setelah menceritakan perbuatan Bhikkhu Moggallana di masa yang lampau, Sang Buddha

lalu berkata :

“O Para Bhikkhu, karena perbuatan buruk yang telah dilakukannya, pada salah satu kehidupannya di masa yang lampau, dengan membunuh ayah dan ibunya yang buta, ia harus menerima kematiannya dengan cara yang mengerikan seperti itu. Inilah kelahirannya yang terakhir di dalam lingkaran Samsara ini, meskipun ia telah menjadi orang suci, ia tetap tidak dapat melarikan diri dari akibat perbuatan buruk yang telah dilakukannya.”

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »

Ketika itu, anak Raja Bimbisara, bernama Pangeran Ajatasattu, telah dewasa. Ia dipengaruhi oleh Devadatta Thera, yang membujuknya untuk merampas takhta kerajaan dan membunuh ayahnya. Pangeran Ajatasattu lalu merencanakan untuk menggulingkan takhta kerajaan ayahnya, tetapi Raja Bimbisara yang mengetahui rencana anaknya yang jahat itu, tidak menghukumnya, malahan Beliau menyerahkan takhta kerajaan itu seperti yang diinginkan anaknya itu.

Tetapi Pangeran Ajatasattu yang jahat itu tidak puas, ia lalu menangkap dan memasukkan ayahnya ke dalam penjara. Ia memerintahkan supaya ayahnya tidak diberi makan, ia ingin agar ayahnya menderita sampai mati. Ia hanya mengijinkan ibunya yang bebas mengunjungi ayahnya di penjara. Sang Ibu yang berbudi itu selalu membawakan makanan untuk suaminya dengan menyembunyikannya di balik baju.

Setelah Pangeran mengetahuinya, ia lalu melarang ibunya membawakan makanan untuk ayahnya. Kemudian dengan diam-diam, ia membawa makanan yang disembunyikan di dalam kondenya. Tidak lama kemudian Pangeran mengetahuinya dan ia melarang dengan keras ibunya membawakan makanan untuk ayahnya. Sang ibu lalu mencari siasat lain. Ia lalu membaluri tubuhnya dengan campuran madu, keju, mentega dan gula cair. Bimbisara lalu menjilati tubuh isterinya, sehingga ia dapat bertahan hidup.

Raja Ajatasattu setelah mengetahui apa yang dilakukan ibunya, lalu melarang ibunya datang mengunjungi ayahnya. Hatinya hanya dipenuhi keinginan untuk melihat ayahnya menderita dan mati karena penderitaannya itu.

Bimbisara yang tidak lagi mempunyai makanan untuk mempertahankan hidupnya, lalu berlatih meditasi berjalan. Setiap hari ia selalu mengingat ajaran Sang Buddha dan berlatih meditasi dengan rajin, akhirnya ia mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna), batinnya tetap tenang dan bahagia.

Anak yang kejam itu heran, mengapa ayahnya belum mati juga. Setelah ia mengetahui ayahnya selalu melatih meditasi berjalan, ia lalu mengirim tukang cukur untuk menyayat-nyayat telapak kaki ayahnya, dan melumurinya dengan garam dan minyak lalu dipanggang di atas bara api.

Bimbisara yang melihat tukang cukur datang, amat senang karena ia berpikir bahwa anaknya mungkin sudah sadar dan menyesali perbuatannya yang jahat dan keji itu. Ia lalu mengirim tukang cukur untuk memangkas rambut dan jenggotnya yang sudah panjang, sebelum membebaskannya.

Tetapi harapan Bimbisara keliru, ia harus mengalami penderitaan yang luar biasa hebatnya.

Tukang cukur itu yang atas perintah Raja Ajatasattu, menyayat-nyayat telapak kakinya dan melumurinya dengan garam dan minyak serta memanggangnya di atas bara api. Bimbisara yang sudah amat lemah itu, tidak tahan lagi sehingga meninggal dunia. Bimbisara meninggal karena penderitaannya di luar batas peri-kemanusiaan lagi, dan ia meninggal atas perintah anak kandungnya sendiri.

Pada hari itu pula, anak Raja Ajatasattu lahir. Ia amat bahagia melihat anaknya yang baru lahir itu. Ia merasakan cinta kasih sayang yang luar biasa kepada anaknya itu. Seketika itu pula ia teringat kepada ayahnya sendiri, bahwa ayahnya pasti juga merasakan kasih sayang yang sama ketika ia lahir. Dengan panik, ia lalu memerintahkan pengawalnya untuk segera berlari ke penjara dan membebaskan ayahnya. Tetapi, sudah terlambat, ayahnya, Bimbisara baru saja meninggal dunia. Ia amat menyesali perbuatan jahatnya. Ia lalu berpaling kepada ibunya dan bertanya : “Oh ibu, apakah ayah amat menyayangiku ketika aku masih kecil?”

Ibunya lalu bercerita, ketika ia mengandung, ia ingin sekali menghisap darah dari tangan kanan suaminya. Ia menyimpan keinginannya yang aneh itu, sebab ia tidak berani mengatakannya. Karena keinginannya tidak terpenuhi, ia menjadi gelisah dan amat pucat, badannya kurus sekali. Keadaannya bertambah lama bertambah buruk, Raja Bimbisara yang kemudian mengetahui keinginan isterinya yaitu menghisap darah dari tangan kanannya, dengan senang hati beliau memenuhi keinginan isterinya itu. Seorang peramal pandai lalu meramalkan, bahwa anaknya yang di dalam kandungan itu kelak akan menjadi musuh ayahnya. Mendengar ramalan itu, Ratu ingin menggugurkan kandungannya, tetapi Raja melarangnya. Ketika anak itu lahir, Raja memberi nama Ajatasattu yang artinya : musuh yang belum lahir. Ratu sekali lagi berusaha untuk menyingkirkan anak yang baru lahir itu karena takut akan ramalan tersebut. Tetapi Bimbisara tetap melarangnya.

Pada suatu waktu, Pangeran Ajatasattu yang masih kecil itu menangis terus karena kesakitan, jarinya bengkak dan amat sakit, karena bisul yang cukup parah. Ia menangis terus, tidak ada seorangpun yang dapat mendiamkannya. Raja yang ketika itu sedang memimpin rapat di Ruang Kerajaan, menunda rapatnya, dengan dikelilingi oleh para menteri dan pejabat istana, ia lalu menggendong Pangeran kecil itu. Dengan tanpa ragu-ragu ia lalu menghisap jari Pangeran yang sakit itu dengan mulutnya. Bisul itu lalu pecah, ia lalu menelan nanah yang keluar bersama dengan darah itu. Pangeran segera berhenti menangis.

Raja Ajatasattu yang mendengar cerita dari ibunya, bagaimana ayahnya amat menyayanginya, amat menyesal dengan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap ayahnya yang amat menyayanginya.

Kelahiran seorang anak seringkali membuat orang menyadari akan cinta kasih orangtua terhadap dirinya.

Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

Comments No Comments »